Setelah berkelana dengan Si Sepeda Hitam selama 4 hari melewati jalur neraka, saatnya mengistirahatkan diri. Lagipula Si Sepeda Hitam perlu direparasi. Sejenak menikmati kota yang terkenal dengan gunung yang masih aktif yaitu Gunung Slamet.
Hujan turun di depan Sekretariat UPL MPA Unsoed.
Gunung Slamet menjulang tinggi di arah utara Purwokerto. Melambaikan tangan serasa mengajak untuk main ke puncaknya. Tidak ada awan yang menutupi. Gagah dan perkasa tapi kalap kala memuntahkan isi perutnya tahun lalu. Semua orang di kaki gunung mengungsi. Sampai saat ini pun pendakian Gunung Slamet masih belum dibuka. Namun saat ini saya tidak akan mendaki gunung. Hanya menikmati wisata alam dan kota Purwokerto.
Pagi sekali, Purwokerto diguyur hujan. Semakin menambah sejuk suasana kota di kaki Gunung Slamet ini. Tubuh seakan enggan berpisah dari kasur tipis yang menjadi alas tidur di Sekretariat UPL MPA Unsoed ini. Namun rasa malas ini harus dilawan. Si Sepeda Hitam harus direparasi. Kalau tidak perjalanan ini tak akan berlanjut. Rencana hari Minggu, 4 Januari 2015 ini adalah membeli pelek dan menyetel ulang jari-jari. Tak sabar untuk segera mendandani rekan saya yang telah menemani saya hingga Losari sebelum akhirnya tumbang.
Secangkir kopi hitam menghangatkan pagi. Hari ini benar-benar berbeda dengan hari sebelumnya. Saya dapat bangun lebih siang. Tak perlu bangun pukul 05.00 WIB untuk bersiap-siap mengayuh. Namun tak terasa bersantai-santai, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Bersama Kholik, salah satu anggota UPL MPA Unsoed, saya bergegas menuju bengkel sepeda. “Yuk ke deket Lapangan Grendeng. Di sana ada bengkel sepeda.” jelas Kholik. “Yuk. Supaya lebih selow nanti..” jawab saya sambil mengambil sepeda beserta sepasang ban yang telah saya lepaskan.
Si Sepeda Hitam direparasi di bengkel dekat Lapangan Grendeng.
Di sebuah tikungan jalan yang bersebelahan dengan warung makan Padang, bengkel sepeda itu terselip. Tak basa-basi, saya langsung turun dan bertanya dengan sang montir sepeda. “Misi pak. Ada pelek ukuran 26?” tanya saya. “Ada sih dek tapi bekas. Mau?” jawab pria yang telah berambut putih itu. Setelah saya lihat pelek itu, ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan saya. Karat terlihat di hampir semua bagian pelek. Namun sang montir sepeda itu menyakinkan bahwa kondisi pelek itu masih bagus. “Pak gak ada yang baru?” tanya saya kembali. “Gak ada dek. Kalo mau cari yang baru itu deket SPN (Sekolah Polisi Negara) ada bengkel sepeda lengkap” jawabnya. Segera saya bersama Kholik menuju ke tempat yang disebutkan sang montir sepeda.
Akhirnya saya dapatkan pengganti pelek Si Sepeda Hitam. Pelek tersebut bermerek Araya TM-18 berwarna abu-abu metalik. Sama dengan warna pelek depan. Pelek tersebut biasa digunakan untuk sepeda MTB (Mountain Bike) yang kuat untuk medan bergelombang. Dengan alasan tersebut jadi pelek tersebut pasti akan kuat untuk perjalanan jauh dan membawa beban yang berat. Pelek itu seharga Rp. 100.000. Harga yang setara untuk kualitas yang saya butuhkan. Setelah semua selesai, segera saja saya meluncur kembali ke tempat di mana sepeda saya akan direparasi.
Langit di Purwokerto kembali kelabu. Pertanda hujan akan kembali turun. Setelah saya bertemu dengan sang montir sepeda dan memberitahukan kebutuhan saya, tujuan selanjutnya adalah kembali ke sekretariat. Sang montir sepeda menjanjikan pekerjaan reparasi sepeda akan selesai pada pukul 16.00 WIB. “Pak, saya tinggal dulu ya. Nanti saya ambil. Terima kasih pak.” ujar saya sambil meninggalkan bengkel sepeda yang tak terlalu besar itu. “Ya, dek.” balasnya.
Senja bergelayut di Purwokerto.
Sampai hari berganti gelap di Purwokerto, saya hanya habiskan untuk bersantai di sekretariat dan mengambil sepeda yang telah direparasi. Hujan kembali turun kala senja. Hingga akhirnya berhenti ketika adzan maghrib berkumandang memenuhi setiap sudut Kota Purwokerto. Matahari hari ini meninggalkan kesan yang mesra. Ungu dan jingga menghiasi langit. Manis sekali senja ini. Lukisan langit terindah semenjak saya mulai mengayuh dari Kota Depok lima hari yang lalu.
——–
Purwokerto secara administratif merupakan ibukota Kabupaten Banyumas. Berada di kaki Gunung Slamet, Purwokerto menawarkan panorama alam yang memukau. Namun kegagahan Gunung Slamet untuk saat ini tak dapat saya cicipi. Hanya wisata kota di Alun-Alun Purwokerto dan berkunjung ke Air Terjun Pancuran Tujuh yang dapat saya sambangi berhubung waktu yang sangat sempit. Hanya satu hari waktu yang saya miliki untuk beristirahat dan sejenak menikmati Purwokerto.
Minggu malam pertama di tahun 2015 ini, aspal jalan di Purwokerto cukup tergenang. Hujan selama sore hari penyebabnya. Saya bersama Fredy, yang juga anggota UPL MPA Unsoed berkendara ke pusat kota. Ya, Alun-Alun Purwokerto. Sebelumnya, Sakina atau yang akrab saya panggil Kinoy kebetulan sedang berada di Purwokerto dan mengajak saya bertemu di sana. Wartawan Kompas.com yang sebelumnya mengenyam pendidikan di Program Studi Sastra Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kebetulan sedang berada di Purwokerto untuk menghadiri acara keluarga.
Telepon genggam saya di dalam kantong celana bergetar. Di layarnya tertulis “Calling From Kinoy Belanda” . Begitu namanya saya simpan di gawai yang berlambang buah apel ini. “Oi di mana lo? Gw udah di Alun-Alun nih.” Kinoy langsung menyeloroh. “Iye gw jalan. Tunggu 5 menit.” jawab saya di atas motor. Sekejap langsung motor buatan Jepang yang saya tumpangi melesat cepat membelah Jalan Raya HR Bunyamin menuju Alun-Alun Purwokerto.
Berfoto bersama Kinoy, si Wartawan Kompas.com yang kebetulan berada di Purwokerto. Foto: Kinoy.
“Haaaiii Mang. Item banget lu. Ngapain dah cape-cape genjot..” ucap Kinoy ketika pertama kali berjumpa di depan sebuah minimarket. Saya hanya tertawa. Kami bertiga tenggelam dalam perbincangan ala anak muda. Dari mulai gaya hidup, hobi, dunia perkuliahan, dan topik-topik lainnya kami lahap bersama. Tak terasa jam tangan menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kinoy harus segera pulang. Sebelumnya kami bertiga melangkah ke lapangan alun-alun nan hijau. Masyarakat Purwokerto, tua maupun muda riang gembira di pusat kota kebanggaan ini. Ada keluarga yang duduk-duduk di rumput, ada yang berfoto menggunakan tongsis (tongkat narsis), anak-anak berlarian ke sana ke mari atau hanya sekedar lewat seperti kami ini.
Berfoto bersama Fredy dan Kinoy di depan Air Mancur Alun-ALun Purwokerto. Air mancur Alun-Alun Purwokerto yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Foto: Kinoy.
Tamasya asyik nan murah meriah ini agaknya menjadi pilihan bagi masyarakat Purwokerto dan sekitarnya untuk berlibur akhir pekan. Pemerintah Kabupaten Banyumas pun ikut berbenah. Beberapa sudut alun-alun diperbaharui rumputnya. Di ujung timur alun-alun pun baru saja dibangun air mancur. Warna-warni terpancar dari pancuran air itu. Semua mengerubung di tempat yang baru dibangun sekitar dua bulan ini. Masih di dekat air mancur, berdiri televisi raksasa yang menayangkan iklan-iklan komersil.
Sayang waktu juga yang memisahkan. Akhirnya saya dan Fredy berpisah dengan Kinoy. Saya kembali ke sekretariat untuk bersiap-siap esok hari untuk pergi ke Air Terjun Pancuran Tujuh. Kenangan malam di Purwokerto terukir. Baru pertama kali saya menginjakkan kaki di alun-alun setelah tiga kali berkunjung ke kota satria ini. Namun ada kenangan buruk yang selalu ditemui di mana-mana. Sampah. Permasalahan klasik yang selalu ada di tempat wisata pun di Indonesia.
——-
Matahari pelan-pelan mengintip di balik awan. Seketika itu juga saya terbangun. Rencana sebelum mengakhiri plesiran di Purwokerto yaitu main ke Air Terjun Pancuran Pitu. Kali ini Reza dan Wawan yang pergi bersama saya. Ah si Fredy masih terlelap dalam mimpinya. Biarlah. Kami bertiga beranjak menanjak ke arah Baturaden. Sejuknya pagi ini di kaki Gunung Slamet.
Batu belerang coklat yang berada di sisi kanan aliran air.
Lalu lintas pagi hari di Purwokerto tak ramai. Jangan bayangkan seperti di Jakarta. Sudah pasti kendaraan berdesakkan. Asap-asap hitam keluar dari knalpot. Suara bising klakson memenuhi jalan. Kiri dan kanan hanya ada orang-orang yang berlomba-lomba untuk segera sampai di kantornya masing-masing. Berbeda di sini, hanya ada hijaunya sawah, orang-orang yang bersepeda untuk beraktifitas sehari-hari, Gunung Slamet yang menjulang tinggi, dan juga dinginnya udara yang mengusap kulit.
Perjalanan motor berhenti di desa nan padat di kaki Gunung Slamet. Kalipagu namanya. Di sana, kami masak dan makan di rumah Bu Yung yang terkenal bagi para pendaki ataupun wisatawan yang ingin pergi ke Air Terjun Pancuran Pitu. Setelah kenyang, kami mulai mendaki menuju tempat yang ramai dikunjungi kala akhir pekan. Jalan berbatu menyambut. Kini lebih dekat ke sawah. Kemeja kotak-kotak merah saya tenggelam di tengah hijaunya lumbung pangan Indonesia ini. Jalan yang dilalui sekarang mulai membuat rasa sakit berkurang. Batu-batu berubah menjadi tanah yang tak terlalu gembur.
Anak tangga yang harus dituruni untuk menuju Air Terjun Pancuran Tujuh.
Sawah menghampar hijau menemani perjalanan menuju Air Terjun Pancuran Tujuh.
Pipa air yang mengaliri untuk irigasi dan kebutuhan minum warga kaki Gunung Slamet.
Jembatan di pinggir PLTA Ketengger, Purwokerto.
Pandangan mata dilempar jauh ke ujung, tujuan plesiran saya terlihat. Namun jalan masih panjang. Puluhan anak tangga masih harus dituruni. Gemericik air membuat perjalanan tak terasa. Nyanyian lirih alam ini mendamaikan hati. Suara itu berbisik melalui dua pipa hitam besar. Burung-burung juga berkicau dengan merdu. Suara-suara itu bagaikan simponi alam yang dipimpin konduktor lihai. Di ujung jalan terdapat satu bendungan air yang luas. Di sana sejenak saya berhenti untuk beristirahat setelah berjalan mendaki anak tangga yang terlihat sengaja di buat. Jalur selanjutnya saya menyeberang satu jembatan kecil yang dibawahnya mengalir air.
Jembatan yang memanjang dan dialiri oleh air.
Dilarang berhenti di tengah jembatan dan mengambil gambar di sini.
“Wiiihh ini serem juga kalo buat wisatawan awam..” kata saya sambil kaget. “iya ini kan bukan jalur yang biasanya dilewati orang. He he..” kata Wawan sambil tertawa kecil. “Biasanya anak-anak ngambang nih aliran air di kiri dari atas” kata Reza sambil menunjuk aliran air yang mengalir deras. “Oooohhh..” seloroh saya. Aliran air itu ternyata berasal dari air terjun yang nantinya akan ditampung di bendungan. Air itu untuk membantu pengairan sawah dan kebutuhan air warga di kaki gunung. Selain itu, aliran ini dibuat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.
Batu belerang coklat yang berada di sisi kanan aliran air.
Kontras warna antara hijau dan coklat di kawasan Air Terjun Pancuran Tujuh.
Lumut hijau yang tumbuh di batu-batu pinggir aliran air pancuran.
Sampai di bendungan kecil, terlihat dua orang berseragam biru tua dan helm biru muda sedang memeriksa aliran air. Ada yang tak beres nampaknya. Kini lepas dari bendungan kecil itu, sungai yang penuh batu makin melebar. Di tengah hutan kaki Gunung Slamet ini nampak oase yang dilumuri warna coklat muda. Batu-batu mengandung belerang. Orang-orang di sini percaya aliran air belerang ini dapat mengobati penyakit kulit. Bahkan banyak yang sengaja datang jauh-jauh untuk terapi belerang tiap bulan.
Pijat badan di aliran air hangat pancuran tujuh.
“Ayo mandi langsung..” ajak Wawan. “Ayolaaah..” kata saya sambil buka baju. Berhubung hari ini bukan akhir pekan, di sebuah gua yang biasanya ramai, saat ini hanya saya berdua saja yang mandi. Berasa tempat pribadi. Di tengah hawa dingin khas kaki gunung, aliran air hangat ini memijit badan saya yang setelah hampir seminggu dipaksa untuk merunduk. Ah nikmatnya pijat dengan aliran air ini. Serasa dipijat oleh terapis profesional. Tak kalah.
Hampir satu jam saya di pancuran ini. Tak terasa. Segelas teh manis hangat sudah menunggu untuk diseruput. Makin lengkap terapi alam ini. Dengan masih bercelana pendek, saya mendaki ke tempat sumber aliran air ini. Lebih panas ternyata. Sumbernya adalah air yang keluar dari tujuh lubang. Oleh karena itu disebut Air Terjun Pancuran Pitu. Pitu berarti tujuh yang berasal dari Bahasa Jawa. Di atas sini cukup ramai. Banyak yang bersantai.
Berfoto bersama Reza dan Wawan sebelum meninggalkan Air Terjun Pancuran Tujuh.
Hari sudah makin siang. Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Saatnya untuk pulang. Cukup sudah plesiran di Purwokerto. Kami berkemas. Badan sudah segar. Saya siap untuk melanjutkan perjalanan menyusuri jalur selatan. Perpaduan warna hijau dan coklat di Air Terjun Pancuran Tujuh telah saya jejaki. Namun kembali ada satu hal yang saya kurang sukai jika berkunjung ke tempat wisata di Indonesia. Sampah. Semoga para wisatawan sadar untuk menjaga lingkungan. Karena siapa lagi yang akan peduli.