Pesona Lebaran yang Pudar

Bersama teman baru sesaat setelah bertugas di Karimun Jawa pada hari kedua Lebaran tahun 2015

Bersama teman baru sesaat setelah bertugas di Karimun Jawa pada hari kedua Lebaran tahun 2015

Tiga puluh menit dari stasiun ke arah selatan, pada sebuah desa kecil dekat Sungai Bogowonto, saya dibesarkan oleh kakek dan nenek saya. Sentuhan tangan kakek dan nenek serta adik-adik ibu kerap teringat saat saya melihat bingkai-bingkai foto yang terpajang di rumah. Ya, ketika masih berusia enam bulan, saya dititipkan oleh orang tua untuk dibesarkan oleh sepasang manusia yang telah melahirkan ibu saya. Nama desa yang menjadi kampung halaman saya adalah Kutoarjo. Sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang berjarak sekitar satu jam ke barat dari Yogyakarta.

Sebulan sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 H saya telah merencanakan untuk kembali menyambangi tempat saya dibesarkan. Walaupun hanya dua tahun lamanya saya tinggal di Kutoarjo. Saya telah memesan tiket Kereta Api Bogowonto untuk dua orang. Dua tiket tersebut untuk saya serta sang ibu pada dua hari menjelang Lebaran. Dapat dibayangkan, orang-orang dari ibukota Jakarta akan berbondong-bondong kembali ke tanah kelahirannya demi berkumpul dengan keluarga tercinta. Namun saya hanya ingin bertemu dengan kakek dan nenek saya walaupun hanya tinggal nama yang tertulis di nisan.

“Bu, nanti kita pulang bawa apa ya? tanya saya kepada ibu.

“Ya, bawa aja baju nanti buat si Pulung,” jawab ibu saya.

Sekelumit asa untuk bertemu dengan sepupu saya, Pulung sudah terbesit di kepala. Di depan rumah kakek dan nenek saya mengalir sebuah sungai kecil yang nantinya akan bergabung di Sungai Bogowonto dan bermuara di Laut Selatan Pulau Jawa. Laut yang konon banyak memakan korban jika ada wisatawan yang berbaju hijau. Saya sudah membayangkan akan bermain di atas pasir hitam dengan suara deburan ombak laut yang bergulung-gulung. Juga berkejaran bersama sepupu-sepupu yang tercinta. Biasanya pada tahun-tahun sebelumnya, saya bersepeda bersama sepupu menuju ke pantai. Sekitar tiga puluh menit jika bersepeda dari sebuah desa kecil yang juga berada di dekat Pasar Grabag.

Pesona Lebaran di kampung halaman terlanjur memesona saya setiap tahun. Suara takbir kerap terdengar. Khutbah-khutbah dalam bahasa Jawa Kromo Inggil atau halus menjadi pengantar salat Idul Fitri. Orang-orang di Desa Grabag akan keluar pada pagi hari menuju arah timur di bawah rerimbunan pohon. Semua orang akan bersalaman.

“Nyuwun Pangapunten (saya minta maaf),” bayang saya dalam bahasa Jawa saat berjalan menuju masjid.

Keriuhan yakni jabat tangan dan mencium tangan orang-orang tua akan saya lakukan. Sungkem dengan adik-adik ibu saya. Satu orang perempuan dan laki-laki. Ibu saya anak kedua, sedangkan kakak dari ibu saya, laki-laki berada di Medan menjadi polisi. Oh ya, adik bungsu dari ibu saya juga seorang polisi. Biasanya, tradisi sungkem dilakukan di rumah utama di kampung saya. Rumah yang berbentuk joglo dengan lima kamar di dalamnya. Rumah itu juga yang menjadi saksi ikatan janji suci bapak dan ibu saya. Betul, pernikahan yang dulu sekitar hampir 30 tahun yang lalu. Duduk berjajar di ruang tamu rumah joglo tempat kakek dan nenek saya terkasih.

Pulau Karimun Jawa dengan laut biru.

Pulau Karimun Jawa dengan laut biru.

Setelah, sungkem dengan para saudara, biasanya saya dan para saudara akan berangkat menuju pusat kabupaten. Kami akan menyantap kuliner baso dan dengan es dawet khas Kutoarjo. Gurih kuah bakso kampung halaman sangat terasa berbeda dengan bakso yang dijual di kota megapolitan Jakarta. Berbeda karena disajikan di kampung halaman. Sementara telah terbayang, dinginnya es dawet dan manisnya gula jawa yang banyak dihasilkan di Kabupaten Purworejo. Harga semangkuk bakso biasanya kami pesan seharga Rp8.000 dan es dawet seharga Rp3.000. Harga yang murah bagi warga pada provinsi DKI Jakarta.

Lima menjelang keberangkatan, pesona Lebaran yang telah saya bayangkan pudar. Saya mendapatkan penugasan ke luar kota dan terpaksa menghapuskan pesona Lebaran yang telah terbayang. Tujuan perjalanan saya adalah Taman Nasional Karimun Jawa. Saya bertugas untuk meliput paket perjalanan dari PT Pelni yang bertajuk “Let’s Go Karimun Jawa”. Sempat rasa kecewa terpapar di depan mata saya. Sementara, teman-teman yang lain dalam Photo Kontes Instagram #PesonaLebaran telah mulai mengunggah foto-foto momen-momen Lebaran pada saat saya berada di atas kapal laut pada hari kedua Lebaran. Saya rindu kampung halaman. Foto-foto Instagram yang diunggah tersebut membuat saya kian merindu. Saya justru merayakan Pesona Lebaran dengan teman-teman yang menjadi keluarga baru saya.

Jika kamu punya foto-foto saat momen-momen merayakan Pesona Lebaran,sobat traveler dapat mengikuti kontes foto Instagram dari Indonesia.travel. Yuk, mencoba Kontes Foto Instragram dengan menuliskan atau mencantumkan hashtag #PesonaLebaran.

 

 

 

 

 

Bersepeda Depok – Surabaya: Sejenak Menikmati Purwokerto

Setelah berkelana dengan Si Sepeda Hitam selama 4 hari melewati jalur neraka, saatnya mengistirahatkan diri. Lagipula Si Sepeda Hitam perlu direparasi. Sejenak menikmati kota yang terkenal dengan gunung yang masih aktif yaitu Gunung Slamet.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Hujan turun di depan Sekretariat UPL MPA Unsoed.

Gunung Slamet menjulang tinggi di arah utara Purwokerto. Melambaikan tangan serasa mengajak untuk main ke puncaknya. Tidak ada awan yang menutupi. Gagah dan perkasa tapi kalap kala memuntahkan isi perutnya tahun lalu. Semua orang di kaki gunung mengungsi. Sampai saat ini pun pendakian Gunung Slamet masih belum dibuka. Namun saat ini saya tidak akan mendaki gunung. Hanya menikmati wisata alam dan kota Purwokerto.

Pagi sekali, Purwokerto diguyur hujan. Semakin menambah sejuk suasana kota di kaki Gunung Slamet ini. Tubuh seakan enggan berpisah dari kasur tipis yang menjadi alas tidur di Sekretariat UPL MPA Unsoed ini. Namun rasa malas ini harus dilawan. Si Sepeda Hitam harus direparasi. Kalau tidak perjalanan ini tak akan berlanjut. Rencana hari Minggu, 4 Januari 2015 ini adalah membeli pelek dan menyetel ulang jari-jari. Tak sabar untuk segera mendandani rekan saya yang telah menemani saya hingga Losari sebelum akhirnya tumbang.

Secangkir kopi hitam menghangatkan pagi. Hari ini benar-benar berbeda dengan hari sebelumnya. Saya dapat bangun lebih siang. Tak perlu bangun pukul 05.00 WIB untuk bersiap-siap mengayuh. Namun tak terasa bersantai-santai, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Bersama Kholik, salah satu anggota UPL MPA Unsoed, saya bergegas menuju bengkel sepeda. “Yuk ke deket Lapangan Grendeng. Di sana ada bengkel sepeda.” jelas Kholik. Yuk. Supaya lebih selow nanti..” jawab saya sambil mengambil sepeda beserta sepasang ban yang telah saya lepaskan.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Si Sepeda Hitam direparasi di bengkel dekat Lapangan Grendeng.

Di sebuah tikungan jalan yang bersebelahan dengan warung makan Padang, bengkel sepeda itu terselip. Tak basa-basi, saya langsung turun dan bertanya dengan sang montir sepeda.Misi pak. Ada pelek ukuran 26?” tanya saya. “Ada sih dek tapi bekas. Mau?” jawab pria yang telah berambut putih itu. Setelah saya lihat pelek itu, ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan saya. Karat terlihat di hampir semua bagian pelek. Namun sang montir sepeda itu menyakinkan bahwa kondisi pelek itu masih bagus. “Pak gak ada yang baru?” tanya saya kembali. “Gak ada dek. Kalo mau cari yang baru itu deket SPN (Sekolah Polisi Negara) ada bengkel sepeda lengkap” jawabnya. Segera saya bersama Kholik menuju ke tempat yang disebutkan sang montir sepeda.

Akhirnya saya dapatkan pengganti pelek Si Sepeda Hitam. Pelek tersebut bermerek Araya TM-18 berwarna abu-abu metalik. Sama dengan warna pelek depan. Pelek tersebut biasa digunakan untuk sepeda MTB (Mountain Bike) yang kuat untuk medan bergelombang. Dengan alasan tersebut jadi pelek tersebut pasti akan kuat untuk perjalanan jauh dan membawa beban yang berat. Pelek itu seharga Rp. 100.000. Harga yang setara untuk kualitas yang saya butuhkan. Setelah semua selesai, segera saja saya meluncur kembali ke tempat di mana sepeda saya akan direparasi.

Langit di Purwokerto kembali kelabu. Pertanda hujan akan kembali turun. Setelah saya bertemu dengan sang montir sepeda dan memberitahukan kebutuhan saya, tujuan selanjutnya adalah kembali ke sekretariat. Sang montir sepeda menjanjikan pekerjaan reparasi sepeda akan selesai pada pukul 16.00 WIB. “Pak, saya tinggal dulu ya. Nanti saya ambil. Terima kasih pak.” ujar saya sambil meninggalkan bengkel sepeda yang tak terlalu besar itu. Ya, dek.” balasnya.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Senja bergelayut di Purwokerto.

Sampai hari berganti gelap di Purwokerto, saya hanya habiskan untuk bersantai di sekretariat dan mengambil sepeda yang telah direparasi. Hujan kembali turun kala senja. Hingga akhirnya berhenti ketika adzan maghrib berkumandang memenuhi setiap sudut Kota Purwokerto. Matahari hari ini meninggalkan kesan yang mesra. Ungu dan jingga menghiasi langit. Manis sekali senja ini. Lukisan langit terindah semenjak saya mulai mengayuh dari Kota Depok lima hari yang lalu.

                                                                   ——–

Purwokerto secara administratif merupakan ibukota Kabupaten Banyumas. Berada di kaki Gunung Slamet, Purwokerto menawarkan panorama alam yang memukau. Namun kegagahan Gunung Slamet untuk saat ini tak dapat saya cicipi. Hanya wisata kota di Alun-Alun Purwokerto dan berkunjung ke Air Terjun Pancuran Tujuh yang dapat saya sambangi berhubung waktu yang sangat sempit. Hanya satu hari waktu yang saya miliki untuk beristirahat dan sejenak menikmati Purwokerto.

Minggu malam pertama di tahun 2015 ini, aspal jalan di Purwokerto cukup tergenang. Hujan selama sore hari penyebabnya. Saya bersama Fredy, yang juga anggota UPL MPA Unsoed berkendara ke pusat kota. Ya, Alun-Alun Purwokerto. Sebelumnya, Sakina atau yang akrab saya panggil Kinoy kebetulan sedang berada di Purwokerto dan mengajak saya bertemu di sana. Wartawan Kompas.com yang sebelumnya mengenyam pendidikan di Program Studi Sastra Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kebetulan sedang berada di Purwokerto untuk menghadiri acara keluarga.

Telepon genggam saya di dalam kantong celana bergetar. Di layarnya tertulis “Calling From Kinoy Belanda” . Begitu namanya saya simpan di gawai yang berlambang buah apel ini. “Oi di mana lo? Gw udah di Alun-Alun nih.” Kinoy langsung menyeloroh. “Iye gw jalan. Tunggu 5 menit.” jawab saya di atas motor. Sekejap langsung motor buatan Jepang yang saya tumpangi melesat cepat membelah Jalan Raya HR Bunyamin menuju Alun-Alun Purwokerto.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Kinoy, si Wartawan Kompas.com yang kebetulan berada di Purwokerto. Foto: Kinoy.

Haaaiii Mang. Item banget lu. Ngapain dah cape-cape genjot..” ucap Kinoy ketika pertama kali berjumpa di depan sebuah minimarket. Saya hanya tertawa. Kami bertiga tenggelam dalam perbincangan ala anak muda. Dari mulai gaya hidup, hobi, dunia perkuliahan, dan topik-topik lainnya kami lahap bersama. Tak terasa jam tangan menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kinoy harus segera pulang. Sebelumnya kami bertiga melangkah ke lapangan alun-alun nan hijau. Masyarakat Purwokerto, tua maupun muda riang gembira di pusat kota kebanggaan ini. Ada keluarga yang duduk-duduk di rumput, ada yang berfoto menggunakan tongsis (tongkat narsis), anak-anak berlarian ke sana ke mari atau hanya sekedar lewat seperti kami ini.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Fredy dan Kinoy di depan Air Mancur Alun-ALun Purwokerto. Air mancur Alun-Alun Purwokerto yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Foto: Kinoy.

Tamasya asyik nan murah meriah ini agaknya menjadi pilihan bagi masyarakat Purwokerto dan sekitarnya untuk berlibur akhir pekan. Pemerintah Kabupaten Banyumas pun ikut berbenah. Beberapa sudut alun-alun diperbaharui rumputnya. Di ujung timur alun-alun pun baru saja dibangun air mancur. Warna-warni terpancar dari pancuran air itu. Semua mengerubung di tempat yang baru dibangun sekitar dua bulan ini. Masih di dekat air mancur, berdiri televisi raksasa yang menayangkan iklan-iklan komersil.

Sayang waktu juga yang memisahkan. Akhirnya saya dan Fredy berpisah dengan Kinoy. Saya kembali ke sekretariat untuk bersiap-siap esok hari untuk pergi ke Air Terjun Pancuran Tujuh. Kenangan malam di Purwokerto terukir. Baru pertama kali saya menginjakkan kaki di alun-alun setelah tiga kali berkunjung ke kota satria ini. Namun ada kenangan buruk yang selalu ditemui di mana-mana. Sampah. Permasalahan klasik yang selalu ada di tempat wisata pun di Indonesia.

                                                                   ——-

Matahari pelan-pelan mengintip di balik awan. Seketika itu juga saya terbangun. Rencana sebelum mengakhiri plesiran di Purwokerto yaitu main ke Air Terjun Pancuran Pitu. Kali ini Reza dan Wawan yang pergi bersama saya. Ah si Fredy masih terlelap dalam mimpinya. Biarlah. Kami bertiga beranjak menanjak ke arah Baturaden. Sejuknya pagi ini di kaki Gunung Slamet.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Batu belerang coklat yang berada di sisi kanan aliran air.

Lalu lintas pagi hari di Purwokerto tak ramai. Jangan bayangkan seperti di Jakarta. Sudah pasti kendaraan berdesakkan. Asap-asap hitam keluar dari knalpot. Suara bising klakson memenuhi jalan. Kiri dan kanan hanya ada orang-orang yang berlomba-lomba untuk segera sampai di kantornya masing-masing. Berbeda di sini, hanya ada hijaunya sawah, orang-orang yang bersepeda untuk beraktifitas sehari-hari, Gunung Slamet yang menjulang tinggi, dan juga dinginnya udara yang mengusap kulit.

Perjalanan motor berhenti di desa nan padat di kaki Gunung Slamet. Kalipagu namanya. Di sana, kami masak dan makan di rumah Bu Yung yang terkenal bagi para pendaki ataupun wisatawan yang ingin pergi ke Air Terjun Pancuran Pitu. Setelah kenyang, kami mulai mendaki menuju tempat yang ramai dikunjungi kala akhir pekan. Jalan berbatu menyambut. Kini lebih dekat ke sawah. Kemeja kotak-kotak merah saya tenggelam di tengah hijaunya lumbung pangan Indonesia ini. Jalan yang dilalui sekarang mulai membuat rasa sakit berkurang. Batu-batu berubah menjadi tanah yang tak terlalu gembur.

Pandangan mata dilempar jauh ke ujung, tujuan plesiran saya terlihat. Namun jalan masih panjang. Puluhan anak tangga masih harus dituruni. Gemericik air membuat perjalanan tak terasa. Nyanyian lirih alam ini mendamaikan hati. Suara itu berbisik melalui dua pipa hitam besar. Burung-burung juga berkicau dengan merdu. Suara-suara itu bagaikan simponi alam yang dipimpin konduktor lihai. Di ujung jalan terdapat satu bendungan air yang luas. Di sana sejenak saya berhenti untuk beristirahat setelah berjalan mendaki anak tangga yang terlihat sengaja di buat. Jalur selanjutnya saya menyeberang satu jembatan kecil yang dibawahnya mengalir air.

Wiiihh ini serem juga kalo buat wisatawan awam..” kata saya sambil kaget.iya ini kan bukan jalur yang biasanya dilewati orang. He he..” kata Wawan sambil tertawa kecil. “Biasanya anak-anak ngambang nih aliran air di kiri dari atas” kata Reza sambil menunjuk aliran air yang mengalir deras. “Oooohhh..” seloroh saya. Aliran air itu ternyata berasal dari air terjun yang nantinya akan ditampung di bendungan. Air itu untuk membantu pengairan sawah dan kebutuhan air warga di kaki gunung. Selain itu, aliran ini dibuat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.

Sampai di bendungan kecil, terlihat dua orang berseragam biru tua dan helm biru muda sedang memeriksa aliran air. Ada yang tak beres nampaknya. Kini lepas dari bendungan kecil itu, sungai yang penuh batu makin melebar. Di tengah hutan kaki Gunung Slamet ini nampak oase yang dilumuri warna coklat muda. Batu-batu mengandung belerang. Orang-orang di sini percaya aliran air belerang ini dapat mengobati penyakit kulit. Bahkan banyak yang sengaja datang jauh-jauh untuk terapi belerang tiap bulan.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Pijat badan di aliran air hangat pancuran tujuh.

Ayo mandi langsung..” ajak Wawan. “Ayolaaah..” kata saya sambil buka baju. Berhubung hari ini bukan akhir pekan, di sebuah gua yang biasanya ramai, saat ini hanya saya berdua saja yang mandi. Berasa tempat pribadi. Di tengah hawa dingin khas kaki gunung, aliran air hangat ini memijit badan saya yang setelah hampir seminggu dipaksa untuk merunduk. Ah nikmatnya pijat dengan aliran air ini. Serasa dipijat oleh terapis profesional. Tak kalah.

Hampir satu jam saya di pancuran ini. Tak terasa. Segelas teh manis hangat sudah menunggu untuk diseruput. Makin lengkap terapi alam ini. Dengan masih bercelana pendek, saya mendaki ke tempat sumber aliran air ini. Lebih panas ternyata. Sumbernya adalah air yang keluar dari tujuh lubang. Oleh karena itu disebut Air Terjun Pancuran Pitu. Pitu berarti tujuh yang berasal dari Bahasa Jawa. Di atas sini cukup ramai. Banyak yang bersantai.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Reza dan Wawan sebelum meninggalkan Air Terjun Pancuran Tujuh.

Hari sudah makin siang. Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Saatnya untuk pulang. Cukup sudah plesiran di Purwokerto. Kami berkemas. Badan sudah segar. Saya siap untuk melanjutkan perjalanan menyusuri jalur selatan. Perpaduan warna hijau dan coklat di Air Terjun Pancuran Tujuh telah saya jejaki. Namun kembali ada satu hal yang saya kurang sukai jika berkunjung ke tempat wisata di Indonesia. Sampah. Semoga para wisatawan sadar untuk menjaga lingkungan. Karena siapa lagi yang akan peduli.

Bersepeda Depok – Surabaya: Etape 3 Perjalanan 54 KM Menuju Cirebon

Dari Indramayu menuju Cirebon tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya berkisar 54 km. Namun perjalanan singkat ini penuh dengan kejadian yang baru.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jalur perkiraan Etape 1 berdasarkan Google Maps. Indramayu – Cirebon. Sumber: Google Maps.

Di sebuah universitas, perjalanan hari kedua berakhir. Namanya Universitas Wiralodra. Berada di dekat Komplek Bumi Patra Jalan Balongan. Dari sana pula perjalanan hari ketiga dimulai. Ke Cirebon nanti kalo lewat Kecamatan Krankeng, hati-hati banyak penjambretan” kata seorang anggota Mapala Wiralodra kepada saya mengingatkan.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama anggota Mapala Wira Buana di Patung Kijang sebelum menuju Cirebon.

Hari ini saya tidak sesuai perencanaan. Ini disebabkan hari ketiga ini, 2 Januari 2015 jatuh pada hari Jum’at. Saya memulai perjalanan setelah sholat Jum’at. Pukul 13.30 WIB, saya meninggalkan kota yang terkenal dengan buah mangganya. Namun sebelum meninggalkan kota, saya mampir ke sebuah tugu yang bernama Tugu Kijang untuk berfoto bersama. Selamat tinggal Indramayu.

Matahari sudah bergeser hampir 15 derajat. Namun panasnya seperti posisi 180 derajat. Melumuri seluruh kulit. Namun keadaan lalu lintas jalan tidak “panas” di Pantura. Kemarin seperti neraka. Penuh siksaan dari kendaraan yang melintas. Sekarang cenderung jarang bus-bus besar yang melintas. Hanya mobil sedan yang melintas. Juga motor-motor yang lewat mendominasi.

Di dekat Kilang Minyak Balongan, saya terkejut dengan tiga orang pria bertongkat yang berjalan kaki di sebelah kiri jalan. Mereka adalah orang-orang yang saya lihat kemarin siang berjalan kaki di Kecamatan Eretan, Indramayu. “Pak, jalan kaki dari Eretan? Mau ke mana?” tanya saya pada mereka. “Mau ke Makam Sunan Gunung Jati” jawab salah satu pria paruh baya itu. “Oh, mau Maulud-an ya pak? Kenapa jalan kaki pak?” tanya saya kembali. “Mau coba aja dek. Mau tau rasanya. Katanya cape tapi kalo gak dicoba gimana mau tau rasanya” jawabnya dengan bijaknya. Saya hanya terkejut mendengar penjelasannya.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Warga Eretan, Indramayu Jawa Barat berjalan kaki menuju Cirebon untuk ziarah Makam Sunan Gunung Djati.

Lepas dari para pria itu, saya melanjutkan perjalanan. Di kanan kiri jalan, sawah menghampar luas. Empat kilometer dari pertemuan saya tadi, Kecamatan Junti terlampaui. Di kiri jalan sudah terlihat laut. Terselip obyek wisata Pantai Junti. Terbesit untuk mampir tapi saya berkejar dengan target. Perahu nelayan bersandar banyak bersandar. Mungkin karena ombak sedang tidak baik untuk melaut.

Pukul 14.15 WIB, roda yang berpelek almunium ini memasuki wilayah yang rawan kriminal. Ya, saya telah memasuki wilayah yang diperingatkan untuk hati-hati sebelum berangkat dari Indramayu. Namanya Krankeng. Ditandai dengan sebuah papan besi pengumuman yang bertuliskan “Anda Memasuki Wilayah Kecamatan Krangkeng. Kawasan Bebas Miras dan Prostitusi”. Menurut teman saya itu, daerah ini rawan sekali perampokan. Bahkan tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa korbannya. Sungguh mengerikan. Jalur Pantura memang “keras”.

Perasaan was-was membaluri jiwa saya. Kewaspadaan berganti dari “gila”-nya bus-bus. Saat ini saya harus waspada dengan penjambret yang siap mengancam setiap saat. Tidak jarang kepala menoleh ke kiri dan ke kanan mengawasi keadaan sekitar. Tangan kanan selalu ngilu kala mengingat perkataan teman jika para perampok atau penjambret tidak segan-segan untuk melukai korban. Tangan kanannya disabet pake pisau atau samurai. Supaya jatoh kalo yang naik motor” begitu saya terbayang kata pemuda asal Kecamatan Krankeng itu.

Kemudi sepeda masih diarahkan lurus. Walaupun jalan kadang sedikit berkelok. Jam di tangan kiri telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Waktu Ashar telah tiba. Saya putuskan untuk istirahat, sholat, dan makan. Para penghuni perut telah demonstrasi. Semangkuk bakso cuangki saya santap di pelataran sebuah masjid. Di masjid ini sedang bersiap-siap untuk merayakan maulid. Tenda didirikan. Pengeras suara disiapkan. Namun walaupun banyak yang sedang beribadah, musik dangdut tetap berkumandang.

Kecamatan Kapetakan yang memiliki 9 desa telah terlewati. Sekarang masuk ke Kecamatan Suranenggala. Masih 15 km menuju Kota Cirebon. Sekitar 1.5 jam lagi. Kecamatan yang memiliki 11 desa ini terasa ramai. Banyak anak-anak kecil bermain di pekarangan rumah. Namun kendaraan yang melaju kencang menjadi ancaman di baliknya. Dari Suranenggala, masih harus melewati Kecamatan Gunung Jati untuk tiba di Kota Cirebon.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Hujan turun di Kecamatan Suranenggala. Terpaksa perjalanan dihentikan.

Langit mendung kelabu. Hitam pekat. Tanda hujan akan turun dengan deras. Kadang suara petir mengetuk pintu langit. Butir-butir air turun dari kayangan. Kayuhan dihentikan di sebuah minimarket untuk berteduh. Wilayah yang dikepalai oleh Drs H Sunjaya Purwadi Sastra ini basah kuyup. Satu persatu pengendera motor ikut menepi. Semua berlindung di bawah teras minimarket. Menunggu hujan reda. Mungkin juga ada pelangi yang muncul setelahnya. Namun itu tak muncul. Hujan terus turun. Sementara hari semakin sore. Jas hujan menjadi pilihan untuk menemani perjalanan hingga Kota Cirebon.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Sebelum Makam Gunung Djati yang ramai saat Maulud Nabi Muhammad SAW. Pengunjung ziarah makam berasal hingga dari Jakarta.

Kecamatan terakhir semakin ramai. Hingga saya melihat satu titik yang paling ramai. Sebuah plank besi berwarna hijau bertuliskan “Makam Gunung Jati” terpampang di sebelah kiri. Bau melati menusuk hidung. Anak-anak dengan baju basahnya berada di pinggir jalan. Senyum senangnya tersurat. Mereka menunggu para pengendara yang melewati Makam Sunan Gunung Jati. Mereka biasanya melempar uang. “Biasanya dapet berapa dik sehari?” tanya saya sambil berhenti. “Enam puluh ribu rupiah” jawabnya. Cukup banyak memang.

Sinar-sinar lampu kota mulai menerangi jalan. Temaram senja menyelimuti kecamatan terakhir sebelum memasuki kota yang terkenal dengan kuliner nasi jamblang dan empal gentong ini. Pukul 18.15 WIB, saya berhasil mencapai Kota Cirebon. Persinggahan di hari ketiga ini adalah Sekretariat Mapala Universitas Swadaya Gunung Jati di jalan Pemuda. Masih sekitar 5 km dari perbatasan kota dan kabupaten.

Cirebon menjelang malam makin bergeliat. Di setiap lampu merah, mobil memenuhi jalan. Di kota yang kendaraannya berplat nomor awal E ini tertib dalam berlalu lintas. Semua berhenti di batas yang dihimbau. Tidak seperti di Jakarta. Semua berlomba-lomba untuk maju. Sampai di pertigaan lampu merah yang diberitahu oleh tukang becak, saya belok kanan. Kemudian, sekitar 5 menit, di sebelah kanan jalan terlihat sebuah papan panjat dinding. Ditambah pula terdapat tulisan Universitas Swadaya Gunung Jati. Itulah persinggahan saya. Malam ini beristirahat untuk esok hari menuju Purwokerto.

Jejak Langkah di Gunung Sindoro

Gunung Sindoro, Temanggung, Wonosobo, Hiking, Mountaneering, Mountaineer, Traveling, Traveler, Bakpacker, Wisata Alam, Gunung Sumbing, Visit Indonesia, Visit Jawa Tengah

Gunung Sindoro yang agak tertutup awan terlihat dari jalur pendakian.

Liburan panjang hampir tiba, waktu yang tepat untuk menjelajah keindahan alam di Indonesia. Banyak tempat yang dapat dikunjungi untuk melepas penat. Mengutip pernyataan seorang penyair sufi legendaris, Rumi, “Travel brings power and love back into your life” , traveling dapat membawa kekuatan dan cinta ke dalam hidup seseorang. Salah satu kegiatan traveling yang dapat dinikmati sobat traveler adalah mendaki gunung. Mendaki gunung atau yang sering disebut hiking dapat dilakukan secara berkelompok bersama teman-teman maupun keluarga tercinta.

Sebuah kesempatan berharga yang saya dapatkan untuk mendaki gunung ini beberapa bulan lalu tak saya sia-siakan. Berawal dari kegagalan untuk mendaki Gunung Argopuro yang ternyata sedang ditutup bulan Januari lalu karena cuaca tidak memungkinkan untuk mendaki. Dengan persiapan perjalanan yang cukup matang, saya bersama dengan beberapa anggota Mapala UI berangkat menuju Semarang menggunakan kereta api Matarmaja jurusan Malang. Siang hari di Stasiun Pasar Senin selalu ramai dengan calon penumpang yang mempunyai tujuan masing-masing. Kereta saya berangkat tanpa terlambat beberapa menit pun melaju mulus di atas rel. Di dalam kereta yang berkelas ekonomi ini, suasana selalu ramai tapi teratur karena peraturan dari PT. KAI yang membatasi penumpang sesuai jumlah kursi di kereta. “Kopi mas..kopi.. pop mie panasnya” teriak pedagang kopi. Begitulah kereta selalu ramai dengan para pedagang, ciri khas yang saya senangi dari kereta ekonomi. Senja berganti malam dan pemandangan di luar kereta berganti dengan cahaya lampu yang berkelip. Akhirnya kereta memasuki St. Semarang Poncol dan saya bergegas untuk turun untuk menuju sekretariat pecinta alam Universitas Diponegoro, Wapeala untuk beristirahat dan menyiapkan logistik untuk pendakian.

Dari Sekretariat Wapeala, perjalanan menuju basecamp pendakian di Gunung Sindoro masih memakan waktu perjalanan sekitar empat jam menggunakan bis jurusan Wonosobo. Pagi-pagi sekali kami segera berangkat menuju basecamp Gunung Sindoro. Pagi yang cerah di kota Semarang mengantarkan kami berangkat menuju tujuan kami selanjutnya. Teman-teman Wapeala mengantar kami hingga naik bus. Bis-bis dengan berbagai tujuan berjajar, sementara para kondekturnya sigap menawarkan kami untuk naik. “Yoo mas, arep munggah gunung merapi opo Sumbing-Sindoro?” tanya kondektur pada saya dengan bahasa Jawa yang kental. “arep neng Sindoro mas, piroan tiketnya?” jawab saya dan menanyakan harga tiketnya. “20.000 ribu mas, ayo mas” jawab kondektur. Tanpa pikir lama kami langsung menaikkan tas ke atas bus. Sekali lagi pengalaman jika traveling menggunakan kendaraan umum, sobat traveler dapat belajar banyak tentang kehidupan. Berbagai latar belakang para penumpang naik tanpa diskriminasi di dalam bus. Dan berbagai obrolan dapat dilakukan dengan penumpang di sebelah. Kali ini saya berbincang dengan para calon polisi dan banyak bertukar pikiran mengenai pendidikan dasar kepolisian. Sangat seru dan menyenangkan.

Selamat Datang di Wonosobo

Bus mulai meliuk-liuk mengikuti kontur jalan yang berbelok-belok. Kiri-kanan jalan telah berubah dari pemandangan tandus menjadi hijau dipenuhi kebun-kebun teh. Ditambah pula dengan hujan yang turun di membuat suasana makin dingin. “Wonosobo..Wonosobo..persiapan Kledung” teriak kondektur bus mengingatkan para penumpang. “mas, arep munggah Sindoro kan? tangi mas. wis arep tekan” sambil membangunkan saya yang tertidur lelap. Bergegas kami bersiap untuk turun di tengah hujan deras di Wonosobo. Sang supir bus mulai memperlambat jalannya bus hingga akhirnya berhenti. Jam menunjukkan pukul 15.00, hujan yang deras tak menghalangi kami melangkah. Jas hujan kami kenakan dan lanjut berjalan di tengah hujan menuju base camp pendakian Gunung Sindoro.

Gunung Sindoro, Temanggung, Wonosobo, Hiking, Mountaneering, Mountaineer, Traveling, Traveler, Bakpacker, Wisata Alam, Gunung Sumbing, Visit Indonesia, Visit Jawa Tengah

Sebelum mulai mendaki, hujan telah turun dan tim segera memakai jas hujan.

Gunung Sindara, atau dikenal Sindoro atau Sundoro adalah gunung berapi aktif yang terletak di kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo. Gunung ini bersebelahan dengan Gunung Sumbing yang terletak di kabupaten Magelang. Gunung yang memiliki ketinggian 3.150 meter di atas permukaan laut ini, memiliki rute pendakian gunung ini bisa dilewati melalui desa Kledung – Temanggung maupun melalui kecamatan Ngadirejo – Temanggung. Di base camp pendakian Gunung Sindoro rupanya telah ramai dengan para pendaki lain. Terlihat hampir 20 orang bersiap mendaki gunung ini. Di base camp ini kami mengurus perizinan dan melengkapi barang-barang yang akan kami bawa naik. Untuk perizinan dikenakan biaya Rp 3.000 per orang dan diharuskan menulis biodata di buku tamu. Satu buah KTP juga ditinggalkan sebagai jaminan. “Tolong jangan turun ke kawah ya mas, kemarin abis ada yang meninggal karena menghirup gas di kawah” himbau bapak petugas kepada kami. Memang beberapa saat lalu, tersiar kabar bahwa ada pendaki yang meninggal karena menghirup gas di kawah. Kami pun menuruti himbauan bapak itu. Sementara di luar masih hujan deras, kami disuguhkan air putih hangat oleh sang empu rumah dan sedikit bercengkrama dengan pendaki lain. Suasana hangat terasa di rumah yang tidak begitu besar ini.

Gunung Sindoro, Temanggung, Wonosobo, Hiking, Mountaneering, Mountaineer, Traveling, Traveler, Bakpacker, Wisata Alam, Gunung Sumbing, Visit Indonesia, Visit Jawa Tengah, Peta Gunung Sindoro

Ini merupakan peta pendakian Gunung Sindoro yang diberikan ketika berada di base camp. Sumber: Google

Hujan mulai reda dan kami mulai berjalan meninggalkan base camp. Tak lama berjalan, kami disambut oleh ladang-ladang milik warga. Warna hijau dan ladang yang tersusun rapi membuat mata kami melihat ke kiri-kanan. Gunung Sindoro di ujung mata serasa dekat walaupun faktanya masih jauh. Menengok ke belakang, Gunung Sumbing berdiri dengan gagahnya. Perjalanan menuju pos 1 yang berketinggian 1.900 mdpl. Jalan semakin menanjak ketika melewati batas ladang dengan hutan. Jalan yang berbatu berganti dengan jalan tanah yang gembur karena hujan. Pohon-pohon khas hutan mulai kami lewati. Senja mulai datang di tanah Wonosobo, langit tertutup awan hitam karena hujan. Sementara saya dan teman-teman mulai terpisah karena salah satu dari anggota tim mengeluhkan kaki yang sakit. Adzan maghrib pun berkumandang, saya dan beberapa teman yang berada di depan memutuskan untuk berhenti dan menyiapkan minuman hangat beserta makanan ringan. “Wah gile ye ujannya, kaga berhenti. Kasian tuh si Riko. Yuk bikinin teh anget” bincang saya kepada Fajri dan Fadhli. Hampir setengah jam kemudian, tampak juga teman saya yang bernama Riko dan tiga orang yang lain. Segera kami bergabung dan menikmati teh hangat lalu bersiap kembali berjalan.

Perjalanan dilanjutkan dan nafas kami mulai terengah-engah. Mungkin karena hujan yang turun dengan derasnya. Setelah menuruni lembah yang cukup licin dan kembali menuju punggungan utama, kami sampai di pos satu pukul 8 malam. Cukup lebar untuk mendirikan tenda tapi target kami adalah pos tiga untuk bermalam. Sekedar meluruskan kaki, kami beristirahat dan melegakan dahaga di tenggorokan. “Ayooo lanjut yook, biar gak kemaleman” ajak saya untuk lanjut berjalan. Beruntung hujan mulai berhenti di malam ini sehingga memudahkan perjalanan. Namun pada akhirnya setelah Riko berjalan tertatih-tatih, kami menghentikan langkah untuk segera mendirikan tenda. Malam yang dingin ini diakhiri dengan tidur yang lelap.

Gunung Sindoro, Temanggung, Wonosobo, Hiking, Mountaneering, Mountaineer, Traveling, Traveler, Bakpacker, Wisata Alam, Gunung Sumbing, Visit Indonesia, Visit Jawa Tengah

Sesaat setelah hujan, tim menyempatkan berfoto dengan latar Gunung Sumbing.

Tertipu oleh Puncak Bayangan

Sinar mentari perlahan menampakkan mengganti bulan. Sosok yang hangat mulai menyelimuti badan. Burung-burung pun berkicau mengingatkan kami agar segera menyantap makan pagi. Sepiring ayam goreng dan panasnya sup menjadi awal energi pagi ini. Ditambah dengan sereal agar kami cukup energi menuju puncak. Target hari ini adalah puncak Gunung Sindoro. Segera membereskan kemah, beberapa pendaki yang semalam kami mengobrol di pos 1 melewati kami dan ingin menuju puncak. Hayoo mas Sindoro yoo. Jadi nge-camp di pos tiga mas?” sapa pendaki tersebut. “yoo Sindoro mas. oh ini pos tiga  ya?” tanya saya dengan heran. “iya mas ini pos tiga , memang gak ada petunjuknya sih ya” jawab dia dengan tersenyum. “oalahh ternyata kita udah di pos tiga, maleem ye gak keliatan emang jalannya” sambil kami tertawa.

Perjalanan kami lanjutkan dari pos tiga menuju pos empat. Sudah hampir terlihat puncak Sindoro dari jalur yang kami lewati. Di sebelah kanan jalur terhampar hutan lamtoro dan sudah tidak ada tutupan hutan jadi panasnya matahari langsung menyengat. Berbeda jika berada di perjalanan pos satu hingga pos tiga yang masih tertutup kanopi. Jalur semakin menanjak, Riko mulai mengeluh kakinya kembali sakit. Terpaksa kami memperlambat kecepatan berjalan. “Puncak udah keliatan nihh ko, yoook lanjut kejar” ucap semua kepada Riko memberikan semangat. Hampir tiga kali kami tertipu oleh puncak bayangan. Kami kira sudah tiba di puncak tapi ternyata bukan. Hanya dataran yang cukup lebar. Hujan kembali turun di leher Gunung Sindoro tapi kali ini ditambah dengan angin. Hujan ini cukup menguras stamina hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk menuju puncak tanpa tas. Kami berhenti dan membentangkan selembar flysheet untuk berteduh. Teh dan kopi hangat beserta makanan ringan menjadi makan siang kami. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 12.00, waktu makan siang kami.

Gunung Sindoro, Temanggung, Wonosobo, Hiking, Mountaneering, Mountaineer, Traveling, Traveler, Bakpacker, Wisata Alam, Gunung Sumbing, Visit Indonesia, Visit Jawa Tengah

Tim saat berada di pos tiga Gunung Sindoro. Cuaca setiap hari selalu diguyur hujan.

Selepas makan siang, kami langsung menuju puncak Sindoro. Dengan jas hujan tapi tanpa carrier, kami berjalan di tengah hujan. Batu-batu menjadi licin karena hujan. Kami pun harus berhati-hati agar tidak terpeleset. Tanjakan curam kembali menghadang kami dan jarak pandang semakin berkurang. “Semangat yoo Sindoro yooo” teriak saya di tengah hujan. Kalimat “yoo Sindoro yoo” dikutip dari seorang pendaki asal Cilacap yang menegur kami di jalur dengan aksen Jawa. Lucu dan teringat selalu. “Rock awas Rock” teriak Fajri ketika ada sebuah batu besar yang menggelinding. Tim yang berada di bawah segera lompat ke pinggir jalur menghindari batu tersebut. Tak terbayang jika batu itu menimpa kami. Sudah pasti patah tulang kami alami. Summit Attack serasa lebih menegangkan dibandingkan dengan pendakian Gunung Ciremai pada tahun baru 2012 lalu dan Gunung Pangrango. Namun menurut saya lebih berat pendakian Gunung Salak yang membuka jalur dari Sukamantri ketika itu.

Akhirnya kami mencapai puncak Sindoro dengan tertutup oleh awan. Kawah Sindoro sama sekali tidak terlihat. Pemandangan lepas pun tidak dapat kita nikmati. Gunung Sumbing yang besar pun tidak terlihat. Hanya pohon-pohon kecil melatari kami di puncak. Kami menyempatkan berfoto walaupun cuaca buruk. Dengan berhati-hati kamera yang telah terbungkus plastik, kami keluarkan. Perayaan kecil dengan memakan sari kelapa dan wafer kami lakukan. Sekedar menghibur telah mencapai puncak di tengah hujan juga disapu oleh angin. Tak berlama-lama kami turun untuk segera bergabung dengan Uta dan Riko yang menjaga kemah.

Perjalanan turun kami sore ini diputuskan untuk kembali menginap di pos tiga karena masih ada logistik dan mengistirahatkan kaki Riko yang sakit. Beruntung hujan berhenti dan saya dapat mengabadikan beberapa foto pemandangan dari Gunung Sindoro.  Malam berlalu dan pagi hari kami bergegas untuk merapat ke Yogyakarta. Pendakian Gunung Sindoro ini menyisakan kenangan yang menakjubkan. Tertipu oleh puncak bayangan dan diterpa hujan setiap hari. Dan juga foto yang dihasilkan tidak banyak karena hujan terus menerus.