Mendaki Gunung Tak Harus Sampai Puncak!

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Gunung Pangrango dilihat dari Cibodas, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

“Saya cukup sampai di sini saja. Kalian lanjut saja ke Puncak Pangrango,”

Saya ucapkan kalimat itu kepada rekan-rekan pendakian saya yaitu Yudi dan Sherly ketika kami mulai mendaki ke arah leher Gunung Pangrango, Jawa Barat dari Pos Kandang Badak pada Minggu (3/9/2017) siang. Itulah keputusan yang saya ambil berdasarkan kondisi tubuh yang tak lagi bisa mendukung perjalanan.

Setelah itu, mereka mulai menghilang di tengah rimba hutan Gunung Pangrango dan meninggalkan saya di pinggir jalur pendakian.

Keputusan itu saya ambil bukan tanpa alasan. Langkah saya mulai tertatih-tatih begitu meninggalkan Pos Kandang Badak di area Gunung Gede Pangrango. Kepala saya sudah mulai pusing. Tubuh saya juga terasa gampang lelah. Sementara, nyeri juga menyerang persendian kaki.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki melewati pos Telaga Biru yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Sekali lagi, keputusan itu sudah saya ambil dengan matang. Saya sempat berhenti dan menakar kemampuan untuk melanjutkan pendakian Gunung Pangrango. Padahal, saya sempat memutuskan kembali mendaki sejauh 200 meter. Pada akhirnya, saya benar-benar menghentikan pendakian saya dan berputar arah kembali ke Pos Kandang Badak.

Sebelumnya, kami bertiga mengawali pendakian ke Gunung Pangrango pukul 06.30 WIB dari Pos Pendakian Cibodas. Dari perjalanan awal, saya belum merasakan lelah yang berarti. Namun, memang kondisi tubuh saya sedang tidak fit. Saya mengalami sakit flu. Meski begitu, saya tetap bersikeras untuk mendaki gunung yang dahulu merupakan tempat kesukaan aktivis era 60-an, Soe Hok Gie.

Ada kesan seakan memaksakan kehendak atau ego untuk mendaki gunung di tengah kondisi yang tidak fit. Itu jelas tak boleh ditiru. Saya mengakui kecerobohan itu demi sebongkah ketenangan yang ditawarkan oleh Lembah Mandalawangi. Saya pun terkena akibatnya.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki tengah mendokumentasikan panorama Telaga Biru yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Saya dan rekan terlambat sekitar satu jam untuk tiba di Pos Kandang Badak. Idealnya, jika berjalan dengan konstan, Pos Kandang Badak bisa ditempuh dalam kurun waktu tiga jam. Namun, kami menempuhnya dalam waktu empat jam.

Memang berat rasanya harus membuang kesempatan untuk meraih puncak Gunung Pangrango. Apalagi dengan pemandangan bunga edelweis yang menghampar. Dari puncak Pangrango, Gunung Gede bisa terlihat. Gunung Salak juga bisa terlihat dari alun-alun Lembah Mandalawangi.

Semua keindahan itu kini menjadi fatamorgana untuk saya. Saya kini hanya duduk termenung di jalur pendakian Gunung Pangrango sambil mendengarkan alunan angin yang menyapu dedaunan.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki sedang duduk istirahat di Pos Panyangcangan yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Keputusan yang saya ambil sudah tepat. Tak baik jika memaksakan kehendak atau menuruti ego untuk mencapai puncak. Walaupun, kali ini suasana Pangrango berbeda dengan kehadiran rekan-rekan pendakian saya, keputusan itu sudah bulat. Saya berhenti di tengah jalur pendakian, meninggalkan rekan-rekan pendakian, dan menunggu kembalinya mereka di Pos Kandang Badak.

Perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango via jalur Cibodas juga tak main-main. Untuk menuju puncak Gunung Pangrango di ketinggian 3.019 meter di atas permukaan laut, jalur yang dilalui terbilang ekstrem.

Di jalur menuju Puncak Pangrango, ada kalanya kita harus merayap, melompati batang pohon, memanjat akar pohon, dan melewati jalur tanah yang terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Saya tak bisa menyepelekan meski saya sudah berpuluh-puluh kali berhasil menggapai Puncak Pangrango.

Bisa dibayangkan bila saya tetap nekat melanjutkan pendakian di tengah keadaan yang tak fit. Ancaman bahaya seperti pingsan, hipotermia, dan cedera kaki bisa menimpa saya. Bila akhirnya pun tiba di puncak Pangrango, pastinya akan terlalu sore. Hal itu nanti akan berimbas pada perjalanan turun yang mau tak mau dilakukan pada malam hari. Hal itu jelas sangat berbahaya!

Memang boleh diakui, bisa berdiri di puncak gunung adalah suatu kebanggaan tersendiri. Rasa lelah dibayar dengan keindahan yang ada di puncak gunung. Koleksi swafoto atau foto pemandangan bisa diambil dan lalu diunggah ke media sosial. Kemudian, unggahan foto di media sosial diharapkan bisa menuai respon dari warganet. Cerita-cerita perjalanan juga bisa dibagikan ke teman-teman lain.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Gunung Pangrango dilihat dari jalur pendakian Cibodas, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Dari semua kebanggaan itu tentu tak mudah untuk dicapai. Ada risiko yang menghadang. setiap saat. Salah mengambil keputusan bisa berakibat fatal. Musibah bisa datang menghampiri setiap saat. Mendaki gunung adalah kegiatan yang penuh dengan marabahaya. Saya menyadari betul bahaya itu.

Pengambilan keputusan yang buruk dikenal sebagai salah satu penyebab musibah. Hal itu termasuk jenis bahaya subyektif (subjective dangerous). Bahaya itu termasuk juga seperti pengetahuan mendaki gunung yang minim, kondisi badan yang tidak fit, dan lain-lain. Di Indonesia, berdasarkan pemantauan saya, bahaya-bahaya tersebut masih banyak menghantui pendaki-pendaki Indonesia.

Dari keadaan yang saya alami, tak seharusnya puncak adalah tujuan pendakian. Pilihan terbaik yaitu berhenti, tak meneruskan pendakian. Tak ada alasan lain untuk melanjutkan pendakian. Keselamatan adalah hal yang utama.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki sedang berkemah di Pos Kandang Badak yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Feri, rekan saya di organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) yang juga merupakan teman dari Yudi sempat berpesan tentang keselamatan sebelum saya pergi mendaki ke Gunung Pangrango.

“Hati-hati di jalan,” kata Feri dalam pesan Whatsapp.

Pesan itu terngiang begitu saya mengalami hambatan itu di tengah pendakian. Pun, perkataan senior-senior saya di Mapala UI. Safety first!

Begitupun dengan orang yang paling saya sayangi, Dea juga selalu mengingatkan untuk hati-hati bila saya akan mendaki. Tak terkecuali pendakian saya hari ini.

Kehatian-hatian memang modal utama dalam mendaki gunung. Setiap pendaki harus bisa mengobservasi keadaan yang ada di sekitar dan yang dialami. Kepekaan adalah hal yang mutlak. Luangkan waktu untuk berpikir. Kata “STOP” merupakan kunci mujarab saat mendaki gunung. Kata punya kepanjangan “Stop, Thinking, Observation, Planning”

Bila menghadapi bahaya, cobalah berhenti sesaat. Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan segala sesuatu kemungkinan yang bisa diambil agar bisa terhindar dari bahaya. Lihatlah keadaan sekeliling kita. Apakah cukup mendukung? Lalu terakhir, susunlah rencana yang paling mungkin untuk menangani bahaya.

Kembali lagi, mendaki gunung tak harus sampai puncak. Mungkin kesimpulan saya itu akan menjadi kontroversial. Apalagi, jika pendaki sudah datang jauh-jauh ke gunung untuk mendaki. Ada biaya yang sudah dikeluarkan, waktu yang sudah diluangkan, dan memilih untuk mendaki gunung. Lalu, apa urusan saya melarang mendaki sampai puncak?

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Kondisi jalur pendakian Gunung Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Kredo yang berbunyi, “tujuan mendaki gunung adalah sampai dengan selamat di rumah” itu 100 persen benar tanpa bantahan. Saya belajar bahwa pendakian memang tak harus sampai puncak. Masih banyak kesempatan untuk kembali meraih puncak. Toh, gunung yang akan didaki tak akan pergi.

Bagi saya, pendakian gunung adalah sebuah media untuk menguji seorang pendaki atau individu. Ujiannya adalah bagaimana menyiapkan pendakian, bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat sekitar maupun pendaki, kapan batasan fisik bisa menunjang pendakian, dan sederet pertanyaan lain. Bila sudah bisa melampaui ujian itu, maka kita bisa melakukan pendakian dengan baik.

Puncak gunung adalah urusan kesekian dalam mendaki. Keselamatan adalah yang utama. Jangan sia-siakan nyawa demi tiba puncak gunung tanpa pengetahuan yang mumpuni.

Pesona Lebaran yang Pudar

Bersama teman baru sesaat setelah bertugas di Karimun Jawa pada hari kedua Lebaran tahun 2015

Bersama teman baru sesaat setelah bertugas di Karimun Jawa pada hari kedua Lebaran tahun 2015

Tiga puluh menit dari stasiun ke arah selatan, pada sebuah desa kecil dekat Sungai Bogowonto, saya dibesarkan oleh kakek dan nenek saya. Sentuhan tangan kakek dan nenek serta adik-adik ibu kerap teringat saat saya melihat bingkai-bingkai foto yang terpajang di rumah. Ya, ketika masih berusia enam bulan, saya dititipkan oleh orang tua untuk dibesarkan oleh sepasang manusia yang telah melahirkan ibu saya. Nama desa yang menjadi kampung halaman saya adalah Kutoarjo. Sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang berjarak sekitar satu jam ke barat dari Yogyakarta.

Sebulan sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 H saya telah merencanakan untuk kembali menyambangi tempat saya dibesarkan. Walaupun hanya dua tahun lamanya saya tinggal di Kutoarjo. Saya telah memesan tiket Kereta Api Bogowonto untuk dua orang. Dua tiket tersebut untuk saya serta sang ibu pada dua hari menjelang Lebaran. Dapat dibayangkan, orang-orang dari ibukota Jakarta akan berbondong-bondong kembali ke tanah kelahirannya demi berkumpul dengan keluarga tercinta. Namun saya hanya ingin bertemu dengan kakek dan nenek saya walaupun hanya tinggal nama yang tertulis di nisan.

“Bu, nanti kita pulang bawa apa ya? tanya saya kepada ibu.

“Ya, bawa aja baju nanti buat si Pulung,” jawab ibu saya.

Sekelumit asa untuk bertemu dengan sepupu saya, Pulung sudah terbesit di kepala. Di depan rumah kakek dan nenek saya mengalir sebuah sungai kecil yang nantinya akan bergabung di Sungai Bogowonto dan bermuara di Laut Selatan Pulau Jawa. Laut yang konon banyak memakan korban jika ada wisatawan yang berbaju hijau. Saya sudah membayangkan akan bermain di atas pasir hitam dengan suara deburan ombak laut yang bergulung-gulung. Juga berkejaran bersama sepupu-sepupu yang tercinta. Biasanya pada tahun-tahun sebelumnya, saya bersepeda bersama sepupu menuju ke pantai. Sekitar tiga puluh menit jika bersepeda dari sebuah desa kecil yang juga berada di dekat Pasar Grabag.

Pesona Lebaran di kampung halaman terlanjur memesona saya setiap tahun. Suara takbir kerap terdengar. Khutbah-khutbah dalam bahasa Jawa Kromo Inggil atau halus menjadi pengantar salat Idul Fitri. Orang-orang di Desa Grabag akan keluar pada pagi hari menuju arah timur di bawah rerimbunan pohon. Semua orang akan bersalaman.

“Nyuwun Pangapunten (saya minta maaf),” bayang saya dalam bahasa Jawa saat berjalan menuju masjid.

Keriuhan yakni jabat tangan dan mencium tangan orang-orang tua akan saya lakukan. Sungkem dengan adik-adik ibu saya. Satu orang perempuan dan laki-laki. Ibu saya anak kedua, sedangkan kakak dari ibu saya, laki-laki berada di Medan menjadi polisi. Oh ya, adik bungsu dari ibu saya juga seorang polisi. Biasanya, tradisi sungkem dilakukan di rumah utama di kampung saya. Rumah yang berbentuk joglo dengan lima kamar di dalamnya. Rumah itu juga yang menjadi saksi ikatan janji suci bapak dan ibu saya. Betul, pernikahan yang dulu sekitar hampir 30 tahun yang lalu. Duduk berjajar di ruang tamu rumah joglo tempat kakek dan nenek saya terkasih.

Pulau Karimun Jawa dengan laut biru.

Pulau Karimun Jawa dengan laut biru.

Setelah, sungkem dengan para saudara, biasanya saya dan para saudara akan berangkat menuju pusat kabupaten. Kami akan menyantap kuliner baso dan dengan es dawet khas Kutoarjo. Gurih kuah bakso kampung halaman sangat terasa berbeda dengan bakso yang dijual di kota megapolitan Jakarta. Berbeda karena disajikan di kampung halaman. Sementara telah terbayang, dinginnya es dawet dan manisnya gula jawa yang banyak dihasilkan di Kabupaten Purworejo. Harga semangkuk bakso biasanya kami pesan seharga Rp8.000 dan es dawet seharga Rp3.000. Harga yang murah bagi warga pada provinsi DKI Jakarta.

Lima menjelang keberangkatan, pesona Lebaran yang telah saya bayangkan pudar. Saya mendapatkan penugasan ke luar kota dan terpaksa menghapuskan pesona Lebaran yang telah terbayang. Tujuan perjalanan saya adalah Taman Nasional Karimun Jawa. Saya bertugas untuk meliput paket perjalanan dari PT Pelni yang bertajuk “Let’s Go Karimun Jawa”. Sempat rasa kecewa terpapar di depan mata saya. Sementara, teman-teman yang lain dalam Photo Kontes Instagram #PesonaLebaran telah mulai mengunggah foto-foto momen-momen Lebaran pada saat saya berada di atas kapal laut pada hari kedua Lebaran. Saya rindu kampung halaman. Foto-foto Instagram yang diunggah tersebut membuat saya kian merindu. Saya justru merayakan Pesona Lebaran dengan teman-teman yang menjadi keluarga baru saya.

Jika kamu punya foto-foto saat momen-momen merayakan Pesona Lebaran,sobat traveler dapat mengikuti kontes foto Instagram dari Indonesia.travel. Yuk, mencoba Kontes Foto Instragram dengan menuliskan atau mencantumkan hashtag #PesonaLebaran.

 

 

 

 

 

Bersepeda Depok – Surabaya: Sejenak Menikmati Purwokerto

Setelah berkelana dengan Si Sepeda Hitam selama 4 hari melewati jalur neraka, saatnya mengistirahatkan diri. Lagipula Si Sepeda Hitam perlu direparasi. Sejenak menikmati kota yang terkenal dengan gunung yang masih aktif yaitu Gunung Slamet.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Hujan turun di depan Sekretariat UPL MPA Unsoed.

Gunung Slamet menjulang tinggi di arah utara Purwokerto. Melambaikan tangan serasa mengajak untuk main ke puncaknya. Tidak ada awan yang menutupi. Gagah dan perkasa tapi kalap kala memuntahkan isi perutnya tahun lalu. Semua orang di kaki gunung mengungsi. Sampai saat ini pun pendakian Gunung Slamet masih belum dibuka. Namun saat ini saya tidak akan mendaki gunung. Hanya menikmati wisata alam dan kota Purwokerto.

Pagi sekali, Purwokerto diguyur hujan. Semakin menambah sejuk suasana kota di kaki Gunung Slamet ini. Tubuh seakan enggan berpisah dari kasur tipis yang menjadi alas tidur di Sekretariat UPL MPA Unsoed ini. Namun rasa malas ini harus dilawan. Si Sepeda Hitam harus direparasi. Kalau tidak perjalanan ini tak akan berlanjut. Rencana hari Minggu, 4 Januari 2015 ini adalah membeli pelek dan menyetel ulang jari-jari. Tak sabar untuk segera mendandani rekan saya yang telah menemani saya hingga Losari sebelum akhirnya tumbang.

Secangkir kopi hitam menghangatkan pagi. Hari ini benar-benar berbeda dengan hari sebelumnya. Saya dapat bangun lebih siang. Tak perlu bangun pukul 05.00 WIB untuk bersiap-siap mengayuh. Namun tak terasa bersantai-santai, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Bersama Kholik, salah satu anggota UPL MPA Unsoed, saya bergegas menuju bengkel sepeda. “Yuk ke deket Lapangan Grendeng. Di sana ada bengkel sepeda.” jelas Kholik. Yuk. Supaya lebih selow nanti..” jawab saya sambil mengambil sepeda beserta sepasang ban yang telah saya lepaskan.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Si Sepeda Hitam direparasi di bengkel dekat Lapangan Grendeng.

Di sebuah tikungan jalan yang bersebelahan dengan warung makan Padang, bengkel sepeda itu terselip. Tak basa-basi, saya langsung turun dan bertanya dengan sang montir sepeda.Misi pak. Ada pelek ukuran 26?” tanya saya. “Ada sih dek tapi bekas. Mau?” jawab pria yang telah berambut putih itu. Setelah saya lihat pelek itu, ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan saya. Karat terlihat di hampir semua bagian pelek. Namun sang montir sepeda itu menyakinkan bahwa kondisi pelek itu masih bagus. “Pak gak ada yang baru?” tanya saya kembali. “Gak ada dek. Kalo mau cari yang baru itu deket SPN (Sekolah Polisi Negara) ada bengkel sepeda lengkap” jawabnya. Segera saya bersama Kholik menuju ke tempat yang disebutkan sang montir sepeda.

Akhirnya saya dapatkan pengganti pelek Si Sepeda Hitam. Pelek tersebut bermerek Araya TM-18 berwarna abu-abu metalik. Sama dengan warna pelek depan. Pelek tersebut biasa digunakan untuk sepeda MTB (Mountain Bike) yang kuat untuk medan bergelombang. Dengan alasan tersebut jadi pelek tersebut pasti akan kuat untuk perjalanan jauh dan membawa beban yang berat. Pelek itu seharga Rp. 100.000. Harga yang setara untuk kualitas yang saya butuhkan. Setelah semua selesai, segera saja saya meluncur kembali ke tempat di mana sepeda saya akan direparasi.

Langit di Purwokerto kembali kelabu. Pertanda hujan akan kembali turun. Setelah saya bertemu dengan sang montir sepeda dan memberitahukan kebutuhan saya, tujuan selanjutnya adalah kembali ke sekretariat. Sang montir sepeda menjanjikan pekerjaan reparasi sepeda akan selesai pada pukul 16.00 WIB. “Pak, saya tinggal dulu ya. Nanti saya ambil. Terima kasih pak.” ujar saya sambil meninggalkan bengkel sepeda yang tak terlalu besar itu. Ya, dek.” balasnya.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Senja bergelayut di Purwokerto.

Sampai hari berganti gelap di Purwokerto, saya hanya habiskan untuk bersantai di sekretariat dan mengambil sepeda yang telah direparasi. Hujan kembali turun kala senja. Hingga akhirnya berhenti ketika adzan maghrib berkumandang memenuhi setiap sudut Kota Purwokerto. Matahari hari ini meninggalkan kesan yang mesra. Ungu dan jingga menghiasi langit. Manis sekali senja ini. Lukisan langit terindah semenjak saya mulai mengayuh dari Kota Depok lima hari yang lalu.

                                                                   ——–

Purwokerto secara administratif merupakan ibukota Kabupaten Banyumas. Berada di kaki Gunung Slamet, Purwokerto menawarkan panorama alam yang memukau. Namun kegagahan Gunung Slamet untuk saat ini tak dapat saya cicipi. Hanya wisata kota di Alun-Alun Purwokerto dan berkunjung ke Air Terjun Pancuran Tujuh yang dapat saya sambangi berhubung waktu yang sangat sempit. Hanya satu hari waktu yang saya miliki untuk beristirahat dan sejenak menikmati Purwokerto.

Minggu malam pertama di tahun 2015 ini, aspal jalan di Purwokerto cukup tergenang. Hujan selama sore hari penyebabnya. Saya bersama Fredy, yang juga anggota UPL MPA Unsoed berkendara ke pusat kota. Ya, Alun-Alun Purwokerto. Sebelumnya, Sakina atau yang akrab saya panggil Kinoy kebetulan sedang berada di Purwokerto dan mengajak saya bertemu di sana. Wartawan Kompas.com yang sebelumnya mengenyam pendidikan di Program Studi Sastra Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kebetulan sedang berada di Purwokerto untuk menghadiri acara keluarga.

Telepon genggam saya di dalam kantong celana bergetar. Di layarnya tertulis “Calling From Kinoy Belanda” . Begitu namanya saya simpan di gawai yang berlambang buah apel ini. “Oi di mana lo? Gw udah di Alun-Alun nih.” Kinoy langsung menyeloroh. “Iye gw jalan. Tunggu 5 menit.” jawab saya di atas motor. Sekejap langsung motor buatan Jepang yang saya tumpangi melesat cepat membelah Jalan Raya HR Bunyamin menuju Alun-Alun Purwokerto.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Kinoy, si Wartawan Kompas.com yang kebetulan berada di Purwokerto. Foto: Kinoy.

Haaaiii Mang. Item banget lu. Ngapain dah cape-cape genjot..” ucap Kinoy ketika pertama kali berjumpa di depan sebuah minimarket. Saya hanya tertawa. Kami bertiga tenggelam dalam perbincangan ala anak muda. Dari mulai gaya hidup, hobi, dunia perkuliahan, dan topik-topik lainnya kami lahap bersama. Tak terasa jam tangan menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kinoy harus segera pulang. Sebelumnya kami bertiga melangkah ke lapangan alun-alun nan hijau. Masyarakat Purwokerto, tua maupun muda riang gembira di pusat kota kebanggaan ini. Ada keluarga yang duduk-duduk di rumput, ada yang berfoto menggunakan tongsis (tongkat narsis), anak-anak berlarian ke sana ke mari atau hanya sekedar lewat seperti kami ini.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Fredy dan Kinoy di depan Air Mancur Alun-ALun Purwokerto. Air mancur Alun-Alun Purwokerto yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Foto: Kinoy.

Tamasya asyik nan murah meriah ini agaknya menjadi pilihan bagi masyarakat Purwokerto dan sekitarnya untuk berlibur akhir pekan. Pemerintah Kabupaten Banyumas pun ikut berbenah. Beberapa sudut alun-alun diperbaharui rumputnya. Di ujung timur alun-alun pun baru saja dibangun air mancur. Warna-warni terpancar dari pancuran air itu. Semua mengerubung di tempat yang baru dibangun sekitar dua bulan ini. Masih di dekat air mancur, berdiri televisi raksasa yang menayangkan iklan-iklan komersil.

Sayang waktu juga yang memisahkan. Akhirnya saya dan Fredy berpisah dengan Kinoy. Saya kembali ke sekretariat untuk bersiap-siap esok hari untuk pergi ke Air Terjun Pancuran Tujuh. Kenangan malam di Purwokerto terukir. Baru pertama kali saya menginjakkan kaki di alun-alun setelah tiga kali berkunjung ke kota satria ini. Namun ada kenangan buruk yang selalu ditemui di mana-mana. Sampah. Permasalahan klasik yang selalu ada di tempat wisata pun di Indonesia.

                                                                   ——-

Matahari pelan-pelan mengintip di balik awan. Seketika itu juga saya terbangun. Rencana sebelum mengakhiri plesiran di Purwokerto yaitu main ke Air Terjun Pancuran Pitu. Kali ini Reza dan Wawan yang pergi bersama saya. Ah si Fredy masih terlelap dalam mimpinya. Biarlah. Kami bertiga beranjak menanjak ke arah Baturaden. Sejuknya pagi ini di kaki Gunung Slamet.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Batu belerang coklat yang berada di sisi kanan aliran air.

Lalu lintas pagi hari di Purwokerto tak ramai. Jangan bayangkan seperti di Jakarta. Sudah pasti kendaraan berdesakkan. Asap-asap hitam keluar dari knalpot. Suara bising klakson memenuhi jalan. Kiri dan kanan hanya ada orang-orang yang berlomba-lomba untuk segera sampai di kantornya masing-masing. Berbeda di sini, hanya ada hijaunya sawah, orang-orang yang bersepeda untuk beraktifitas sehari-hari, Gunung Slamet yang menjulang tinggi, dan juga dinginnya udara yang mengusap kulit.

Perjalanan motor berhenti di desa nan padat di kaki Gunung Slamet. Kalipagu namanya. Di sana, kami masak dan makan di rumah Bu Yung yang terkenal bagi para pendaki ataupun wisatawan yang ingin pergi ke Air Terjun Pancuran Pitu. Setelah kenyang, kami mulai mendaki menuju tempat yang ramai dikunjungi kala akhir pekan. Jalan berbatu menyambut. Kini lebih dekat ke sawah. Kemeja kotak-kotak merah saya tenggelam di tengah hijaunya lumbung pangan Indonesia ini. Jalan yang dilalui sekarang mulai membuat rasa sakit berkurang. Batu-batu berubah menjadi tanah yang tak terlalu gembur.

Pandangan mata dilempar jauh ke ujung, tujuan plesiran saya terlihat. Namun jalan masih panjang. Puluhan anak tangga masih harus dituruni. Gemericik air membuat perjalanan tak terasa. Nyanyian lirih alam ini mendamaikan hati. Suara itu berbisik melalui dua pipa hitam besar. Burung-burung juga berkicau dengan merdu. Suara-suara itu bagaikan simponi alam yang dipimpin konduktor lihai. Di ujung jalan terdapat satu bendungan air yang luas. Di sana sejenak saya berhenti untuk beristirahat setelah berjalan mendaki anak tangga yang terlihat sengaja di buat. Jalur selanjutnya saya menyeberang satu jembatan kecil yang dibawahnya mengalir air.

Wiiihh ini serem juga kalo buat wisatawan awam..” kata saya sambil kaget.iya ini kan bukan jalur yang biasanya dilewati orang. He he..” kata Wawan sambil tertawa kecil. “Biasanya anak-anak ngambang nih aliran air di kiri dari atas” kata Reza sambil menunjuk aliran air yang mengalir deras. “Oooohhh..” seloroh saya. Aliran air itu ternyata berasal dari air terjun yang nantinya akan ditampung di bendungan. Air itu untuk membantu pengairan sawah dan kebutuhan air warga di kaki gunung. Selain itu, aliran ini dibuat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.

Sampai di bendungan kecil, terlihat dua orang berseragam biru tua dan helm biru muda sedang memeriksa aliran air. Ada yang tak beres nampaknya. Kini lepas dari bendungan kecil itu, sungai yang penuh batu makin melebar. Di tengah hutan kaki Gunung Slamet ini nampak oase yang dilumuri warna coklat muda. Batu-batu mengandung belerang. Orang-orang di sini percaya aliran air belerang ini dapat mengobati penyakit kulit. Bahkan banyak yang sengaja datang jauh-jauh untuk terapi belerang tiap bulan.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Pijat badan di aliran air hangat pancuran tujuh.

Ayo mandi langsung..” ajak Wawan. “Ayolaaah..” kata saya sambil buka baju. Berhubung hari ini bukan akhir pekan, di sebuah gua yang biasanya ramai, saat ini hanya saya berdua saja yang mandi. Berasa tempat pribadi. Di tengah hawa dingin khas kaki gunung, aliran air hangat ini memijit badan saya yang setelah hampir seminggu dipaksa untuk merunduk. Ah nikmatnya pijat dengan aliran air ini. Serasa dipijat oleh terapis profesional. Tak kalah.

Hampir satu jam saya di pancuran ini. Tak terasa. Segelas teh manis hangat sudah menunggu untuk diseruput. Makin lengkap terapi alam ini. Dengan masih bercelana pendek, saya mendaki ke tempat sumber aliran air ini. Lebih panas ternyata. Sumbernya adalah air yang keluar dari tujuh lubang. Oleh karena itu disebut Air Terjun Pancuran Pitu. Pitu berarti tujuh yang berasal dari Bahasa Jawa. Di atas sini cukup ramai. Banyak yang bersantai.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Reza dan Wawan sebelum meninggalkan Air Terjun Pancuran Tujuh.

Hari sudah makin siang. Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Saatnya untuk pulang. Cukup sudah plesiran di Purwokerto. Kami berkemas. Badan sudah segar. Saya siap untuk melanjutkan perjalanan menyusuri jalur selatan. Perpaduan warna hijau dan coklat di Air Terjun Pancuran Tujuh telah saya jejaki. Namun kembali ada satu hal yang saya kurang sukai jika berkunjung ke tempat wisata di Indonesia. Sampah. Semoga para wisatawan sadar untuk menjaga lingkungan. Karena siapa lagi yang akan peduli.

Bersepeda Depok – Surabaya: Etape 3 Perjalanan 54 KM Menuju Cirebon

Dari Indramayu menuju Cirebon tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya berkisar 54 km. Namun perjalanan singkat ini penuh dengan kejadian yang baru.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jalur perkiraan Etape 1 berdasarkan Google Maps. Indramayu – Cirebon. Sumber: Google Maps.

Di sebuah universitas, perjalanan hari kedua berakhir. Namanya Universitas Wiralodra. Berada di dekat Komplek Bumi Patra Jalan Balongan. Dari sana pula perjalanan hari ketiga dimulai. Ke Cirebon nanti kalo lewat Kecamatan Krankeng, hati-hati banyak penjambretan” kata seorang anggota Mapala Wiralodra kepada saya mengingatkan.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama anggota Mapala Wira Buana di Patung Kijang sebelum menuju Cirebon.

Hari ini saya tidak sesuai perencanaan. Ini disebabkan hari ketiga ini, 2 Januari 2015 jatuh pada hari Jum’at. Saya memulai perjalanan setelah sholat Jum’at. Pukul 13.30 WIB, saya meninggalkan kota yang terkenal dengan buah mangganya. Namun sebelum meninggalkan kota, saya mampir ke sebuah tugu yang bernama Tugu Kijang untuk berfoto bersama. Selamat tinggal Indramayu.

Matahari sudah bergeser hampir 15 derajat. Namun panasnya seperti posisi 180 derajat. Melumuri seluruh kulit. Namun keadaan lalu lintas jalan tidak “panas” di Pantura. Kemarin seperti neraka. Penuh siksaan dari kendaraan yang melintas. Sekarang cenderung jarang bus-bus besar yang melintas. Hanya mobil sedan yang melintas. Juga motor-motor yang lewat mendominasi.

Di dekat Kilang Minyak Balongan, saya terkejut dengan tiga orang pria bertongkat yang berjalan kaki di sebelah kiri jalan. Mereka adalah orang-orang yang saya lihat kemarin siang berjalan kaki di Kecamatan Eretan, Indramayu. “Pak, jalan kaki dari Eretan? Mau ke mana?” tanya saya pada mereka. “Mau ke Makam Sunan Gunung Jati” jawab salah satu pria paruh baya itu. “Oh, mau Maulud-an ya pak? Kenapa jalan kaki pak?” tanya saya kembali. “Mau coba aja dek. Mau tau rasanya. Katanya cape tapi kalo gak dicoba gimana mau tau rasanya” jawabnya dengan bijaknya. Saya hanya terkejut mendengar penjelasannya.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Warga Eretan, Indramayu Jawa Barat berjalan kaki menuju Cirebon untuk ziarah Makam Sunan Gunung Djati.

Lepas dari para pria itu, saya melanjutkan perjalanan. Di kanan kiri jalan, sawah menghampar luas. Empat kilometer dari pertemuan saya tadi, Kecamatan Junti terlampaui. Di kiri jalan sudah terlihat laut. Terselip obyek wisata Pantai Junti. Terbesit untuk mampir tapi saya berkejar dengan target. Perahu nelayan bersandar banyak bersandar. Mungkin karena ombak sedang tidak baik untuk melaut.

Pukul 14.15 WIB, roda yang berpelek almunium ini memasuki wilayah yang rawan kriminal. Ya, saya telah memasuki wilayah yang diperingatkan untuk hati-hati sebelum berangkat dari Indramayu. Namanya Krankeng. Ditandai dengan sebuah papan besi pengumuman yang bertuliskan “Anda Memasuki Wilayah Kecamatan Krangkeng. Kawasan Bebas Miras dan Prostitusi”. Menurut teman saya itu, daerah ini rawan sekali perampokan. Bahkan tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa korbannya. Sungguh mengerikan. Jalur Pantura memang “keras”.

Perasaan was-was membaluri jiwa saya. Kewaspadaan berganti dari “gila”-nya bus-bus. Saat ini saya harus waspada dengan penjambret yang siap mengancam setiap saat. Tidak jarang kepala menoleh ke kiri dan ke kanan mengawasi keadaan sekitar. Tangan kanan selalu ngilu kala mengingat perkataan teman jika para perampok atau penjambret tidak segan-segan untuk melukai korban. Tangan kanannya disabet pake pisau atau samurai. Supaya jatoh kalo yang naik motor” begitu saya terbayang kata pemuda asal Kecamatan Krankeng itu.

Kemudi sepeda masih diarahkan lurus. Walaupun jalan kadang sedikit berkelok. Jam di tangan kiri telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Waktu Ashar telah tiba. Saya putuskan untuk istirahat, sholat, dan makan. Para penghuni perut telah demonstrasi. Semangkuk bakso cuangki saya santap di pelataran sebuah masjid. Di masjid ini sedang bersiap-siap untuk merayakan maulid. Tenda didirikan. Pengeras suara disiapkan. Namun walaupun banyak yang sedang beribadah, musik dangdut tetap berkumandang.

Kecamatan Kapetakan yang memiliki 9 desa telah terlewati. Sekarang masuk ke Kecamatan Suranenggala. Masih 15 km menuju Kota Cirebon. Sekitar 1.5 jam lagi. Kecamatan yang memiliki 11 desa ini terasa ramai. Banyak anak-anak kecil bermain di pekarangan rumah. Namun kendaraan yang melaju kencang menjadi ancaman di baliknya. Dari Suranenggala, masih harus melewati Kecamatan Gunung Jati untuk tiba di Kota Cirebon.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Hujan turun di Kecamatan Suranenggala. Terpaksa perjalanan dihentikan.

Langit mendung kelabu. Hitam pekat. Tanda hujan akan turun dengan deras. Kadang suara petir mengetuk pintu langit. Butir-butir air turun dari kayangan. Kayuhan dihentikan di sebuah minimarket untuk berteduh. Wilayah yang dikepalai oleh Drs H Sunjaya Purwadi Sastra ini basah kuyup. Satu persatu pengendera motor ikut menepi. Semua berlindung di bawah teras minimarket. Menunggu hujan reda. Mungkin juga ada pelangi yang muncul setelahnya. Namun itu tak muncul. Hujan terus turun. Sementara hari semakin sore. Jas hujan menjadi pilihan untuk menemani perjalanan hingga Kota Cirebon.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Sebelum Makam Gunung Djati yang ramai saat Maulud Nabi Muhammad SAW. Pengunjung ziarah makam berasal hingga dari Jakarta.

Kecamatan terakhir semakin ramai. Hingga saya melihat satu titik yang paling ramai. Sebuah plank besi berwarna hijau bertuliskan “Makam Gunung Jati” terpampang di sebelah kiri. Bau melati menusuk hidung. Anak-anak dengan baju basahnya berada di pinggir jalan. Senyum senangnya tersurat. Mereka menunggu para pengendara yang melewati Makam Sunan Gunung Jati. Mereka biasanya melempar uang. “Biasanya dapet berapa dik sehari?” tanya saya sambil berhenti. “Enam puluh ribu rupiah” jawabnya. Cukup banyak memang.

Sinar-sinar lampu kota mulai menerangi jalan. Temaram senja menyelimuti kecamatan terakhir sebelum memasuki kota yang terkenal dengan kuliner nasi jamblang dan empal gentong ini. Pukul 18.15 WIB, saya berhasil mencapai Kota Cirebon. Persinggahan di hari ketiga ini adalah Sekretariat Mapala Universitas Swadaya Gunung Jati di jalan Pemuda. Masih sekitar 5 km dari perbatasan kota dan kabupaten.

Cirebon menjelang malam makin bergeliat. Di setiap lampu merah, mobil memenuhi jalan. Di kota yang kendaraannya berplat nomor awal E ini tertib dalam berlalu lintas. Semua berhenti di batas yang dihimbau. Tidak seperti di Jakarta. Semua berlomba-lomba untuk maju. Sampai di pertigaan lampu merah yang diberitahu oleh tukang becak, saya belok kanan. Kemudian, sekitar 5 menit, di sebelah kanan jalan terlihat sebuah papan panjat dinding. Ditambah pula terdapat tulisan Universitas Swadaya Gunung Jati. Itulah persinggahan saya. Malam ini beristirahat untuk esok hari menuju Purwokerto.

Bersepeda Depok – Surabaya: Etape 2 Ganasnya Jalur Pantura

Bus-bus dan mobil-mobil saling berkejaran. Hembusan anginnya serasa ingin menjatuhkan. Tak jarang jarak antara sepeda dan kendaraan hanya tiga meter. Ditambah lagi teriknya matahari. Sungguh ganas.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jalur perkiraan Etape 1 berdasarkan Google Maps. Karawang – Indramayu. Sumber: Google Maps.

Karawang pagi hari cerah. Matahari menampakkan diri. Malam tahun baru 2015 saya lewati dengan beristirahat. Namun waktu istirahat saya tak mulus. Sepertinya para nyamuk Karawang menemukan teman barunya. Tak henti-hentinya mereka mencumbu setiap lekuk tubuh. Ah jahatnya. Padahal pada hari pertama di tahun 2015 ini saya akan melewati jalur yang terkenal dengan tingkat kecelakaan yang tinggi.

Setelah sarapan bersama para anggota Mapalaska (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Singaperbangsa Karawang), saya melanjutkan perjalanan. Segera meninggalkan kampus yang singgahi menuju Jalan Raya Klari, jalan raya yang cukup besar untuk menuju Cikampek. Lalu lintas belum terlalu ramai. Bus-bus garang belum menampakkan taringnya. Awalan yang baik sebelum memasuki Jalur Pantura (Pantai Utara Jawa).

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Cirebon 167 KM, Semarang 369 KM, Surabaya 674 KM.

Memasuki Cikampek, pertarungan dimulai. Walaupun jalan aspal dan bergelombang, medan ini memuluskan laju roda ban sepeda saya yang berukuran 26 x 1.30. Namun di sisi lain cukup menghambat perjalanan. Di otak saya hanya terbesit bus-bus dan mobil-mobil yang memacu laju kendaraannya hampir 100 km/jam. Belum lagi jika si kendaraan besi itu menyalip dari kiri jalan. Kewaspadaan maksimal. Setiap kayuhan pedal saya selalu berdoa agar selamat melewati jalur ini.

Kabupaten pertama yang saya masuki setelah Cikampek adalah Subang. Teringat tahun lalu pada bulan Februari 2014, saya bersama Mapala UI membantu korban banjir.  Saya menyempatkan beristirahat di Polsek Patok Besi, Subang untuk beristirahat dan mengembalikan mental setelah 18 km berada di awal Jalur Pantura. Tempat yang menjadi posko bantuan banjir ini tak banyak berubah. Namun kali saya datang naik sepeda. Lebih melelahkan dan mengerikan.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Memasuki Pamanukan. Bus-bus di sini memacu kendaraannya dengan kencang. Sangat berbahaya.

Bus-bus tujuan Kuningan mendominasi Jalur Pantura. Luragung dan Setia Negara menguasai jalan. Bus Setia Negara yang berwarna jingga tersebut seperti tak mau mengalah jika didahului oleh kendaraan lain. Klakson dan mendahului lagi. Sempat saya hampir terserempet di daerah Pamanukan. Sepeda saya hanya berjarak empat meter dari badan bus. Sangat mengerikan. Setelah itu saya lebih baik untuk menepi jika ada suara klakson. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Indramayu, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Atas: Buah Kersen atau Orang Jawa mengenalnya dengan sebutan Talok.
Bawah: Es krim.
Cemilan pilihan untuk menyejukkan dahaga di Jalur Pantura.

Jalur Pantura menurut saya membosankan. Berbeda dengan jalur selatan yang menyajikan pemandangan Gunung Ciremai. Di Jalur Pantura, supir kendaraan untuk fokus dalam berkendara. Jalur yang lurus memang memancing untuk memacuk kendaraan. Berdasarkan data pemetaan lokasi rawan kecelakaan Jalur Pantura dari Korps Lalu Lintas Polri, Karawang, Subang, dan Indramayu merupakan titik merah. Semua disebabkan oleh jalan sempit dan bergelombang; sarana prasarana jalan kurang ditambah lagi kendaraan yang dipacu melebihi kecepatan aman yaitu 60-80 km/jam.

Memasuki Indramayu pukul 14.00 WIB, perjalanan di jalur “neraka” ini berhenti sejenak. Makan siang untuk mengisi tenaga untuk mencapai Kota Indramayu. Saya berhenti salah satu warung makan di Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu. Kota Indramayu masih berjarak 48 km. Masih tersisa waktu tiga jam sebelum malam tiba. Tak berlama-lama, sayur asem, ayam goreng, sambal, dan es kelapa saya santap habis. Segera melanjutkan perjalanan.

Pemandangan kali ini cukup menghibur. Suara deburan ombak laut terdengar. Bau asin mulai dapat dihirup. Walaupun sebelumnya di warung makan saya saya singgahi, airnya telah asin. Air laut berwarna kecoklatan. Kemudi sepeda saya belokkan setelah sebuah jembatan di daerah Kecamatan Eretan, Indramayu untuk sekedar menikmati suasana. Meneduhkan diri sejenak sebelum melanjutkan jalur “neraka”. Di pinggir laut, berjajar bambu-bambu yang berbentuk meja. Ternyata untuk menjemur ikan asin. Ah waktu terus berlanjut. Kembali memasuki jalan yang seperti sirkuit balap bagi para supir bis.

Lalu lintas yang mengerikan ini masih sama sejak memasuki Cikampek. Kecepatan selalu menjadi nomor satu. Mungkin urusan keselamatan entah menjadi nomor kesekian. Matahari perlahan mulai turun. Jam tangan menunjukkan pukul 17.30 WIB. Setengah jam lagi harus sudah masuk Kota Indramayu. Sedangkan saya baru berada di Kecamatan Losarang, Indramayu. Masih sekitar 25 km untuk menuju tempat persinggahan malam ini. Perlu dua jam lagi waktu yang dibutuhkan. Pilihan yang ada hanya menginap di Kecamatan Loh Bener, Indramayu atau meminta bantuan pengendara motor untuk mempercepat laju sepeda.

Saya terjebak di pilihan yang sangat sulit ini. Target Kota Indramayu harus dicapai. Namun jika diteruskan bersepeda, akan sangat berbahaya. Akhirnya saya dengan berat hati harus memilih pilihan kedua. Saya harus memutuskan dengan penuh perhitungan. Bukan saya tidak mampu, tapi keselamatan harus menjadi hal pertama yang dijunjung dalam setiap kegiatan. Pilihan saya ini akhirnya tepat. Saya berhasil mencapai Indramayu pukul 18.15 WIB. Terima kasih ya Allah SWT. Persinggahan malam ini adalah di Sekretariat Mapala Wira Lodra. Organisasi pencinta alam di Universitas Indramayu. Sungguh pengalaman gila pertama menggunakan sepeda di Jalur Pantura. Sangat mendebarkan!