Mendaki Gunung Tak Harus Sampai Puncak!

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Gunung Pangrango dilihat dari Cibodas, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

“Saya cukup sampai di sini saja. Kalian lanjut saja ke Puncak Pangrango,”

Saya ucapkan kalimat itu kepada rekan-rekan pendakian saya yaitu Yudi dan Sherly ketika kami mulai mendaki ke arah leher Gunung Pangrango, Jawa Barat dari Pos Kandang Badak pada Minggu (3/9/2017) siang. Itulah keputusan yang saya ambil berdasarkan kondisi tubuh yang tak lagi bisa mendukung perjalanan.

Setelah itu, mereka mulai menghilang di tengah rimba hutan Gunung Pangrango dan meninggalkan saya di pinggir jalur pendakian.

Keputusan itu saya ambil bukan tanpa alasan. Langkah saya mulai tertatih-tatih begitu meninggalkan Pos Kandang Badak di area Gunung Gede Pangrango. Kepala saya sudah mulai pusing. Tubuh saya juga terasa gampang lelah. Sementara, nyeri juga menyerang persendian kaki.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki melewati pos Telaga Biru yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Sekali lagi, keputusan itu sudah saya ambil dengan matang. Saya sempat berhenti dan menakar kemampuan untuk melanjutkan pendakian Gunung Pangrango. Padahal, saya sempat memutuskan kembali mendaki sejauh 200 meter. Pada akhirnya, saya benar-benar menghentikan pendakian saya dan berputar arah kembali ke Pos Kandang Badak.

Sebelumnya, kami bertiga mengawali pendakian ke Gunung Pangrango pukul 06.30 WIB dari Pos Pendakian Cibodas. Dari perjalanan awal, saya belum merasakan lelah yang berarti. Namun, memang kondisi tubuh saya sedang tidak fit. Saya mengalami sakit flu. Meski begitu, saya tetap bersikeras untuk mendaki gunung yang dahulu merupakan tempat kesukaan aktivis era 60-an, Soe Hok Gie.

Ada kesan seakan memaksakan kehendak atau ego untuk mendaki gunung di tengah kondisi yang tidak fit. Itu jelas tak boleh ditiru. Saya mengakui kecerobohan itu demi sebongkah ketenangan yang ditawarkan oleh Lembah Mandalawangi. Saya pun terkena akibatnya.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki tengah mendokumentasikan panorama Telaga Biru yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Saya dan rekan terlambat sekitar satu jam untuk tiba di Pos Kandang Badak. Idealnya, jika berjalan dengan konstan, Pos Kandang Badak bisa ditempuh dalam kurun waktu tiga jam. Namun, kami menempuhnya dalam waktu empat jam.

Memang berat rasanya harus membuang kesempatan untuk meraih puncak Gunung Pangrango. Apalagi dengan pemandangan bunga edelweis yang menghampar. Dari puncak Pangrango, Gunung Gede bisa terlihat. Gunung Salak juga bisa terlihat dari alun-alun Lembah Mandalawangi.

Semua keindahan itu kini menjadi fatamorgana untuk saya. Saya kini hanya duduk termenung di jalur pendakian Gunung Pangrango sambil mendengarkan alunan angin yang menyapu dedaunan.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki sedang duduk istirahat di Pos Panyangcangan yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Keputusan yang saya ambil sudah tepat. Tak baik jika memaksakan kehendak atau menuruti ego untuk mencapai puncak. Walaupun, kali ini suasana Pangrango berbeda dengan kehadiran rekan-rekan pendakian saya, keputusan itu sudah bulat. Saya berhenti di tengah jalur pendakian, meninggalkan rekan-rekan pendakian, dan menunggu kembalinya mereka di Pos Kandang Badak.

Perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango via jalur Cibodas juga tak main-main. Untuk menuju puncak Gunung Pangrango di ketinggian 3.019 meter di atas permukaan laut, jalur yang dilalui terbilang ekstrem.

Di jalur menuju Puncak Pangrango, ada kalanya kita harus merayap, melompati batang pohon, memanjat akar pohon, dan melewati jalur tanah yang terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Saya tak bisa menyepelekan meski saya sudah berpuluh-puluh kali berhasil menggapai Puncak Pangrango.

Bisa dibayangkan bila saya tetap nekat melanjutkan pendakian di tengah keadaan yang tak fit. Ancaman bahaya seperti pingsan, hipotermia, dan cedera kaki bisa menimpa saya. Bila akhirnya pun tiba di puncak Pangrango, pastinya akan terlalu sore. Hal itu nanti akan berimbas pada perjalanan turun yang mau tak mau dilakukan pada malam hari. Hal itu jelas sangat berbahaya!

Memang boleh diakui, bisa berdiri di puncak gunung adalah suatu kebanggaan tersendiri. Rasa lelah dibayar dengan keindahan yang ada di puncak gunung. Koleksi swafoto atau foto pemandangan bisa diambil dan lalu diunggah ke media sosial. Kemudian, unggahan foto di media sosial diharapkan bisa menuai respon dari warganet. Cerita-cerita perjalanan juga bisa dibagikan ke teman-teman lain.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Gunung Pangrango dilihat dari jalur pendakian Cibodas, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Dari semua kebanggaan itu tentu tak mudah untuk dicapai. Ada risiko yang menghadang. setiap saat. Salah mengambil keputusan bisa berakibat fatal. Musibah bisa datang menghampiri setiap saat. Mendaki gunung adalah kegiatan yang penuh dengan marabahaya. Saya menyadari betul bahaya itu.

Pengambilan keputusan yang buruk dikenal sebagai salah satu penyebab musibah. Hal itu termasuk jenis bahaya subyektif (subjective dangerous). Bahaya itu termasuk juga seperti pengetahuan mendaki gunung yang minim, kondisi badan yang tidak fit, dan lain-lain. Di Indonesia, berdasarkan pemantauan saya, bahaya-bahaya tersebut masih banyak menghantui pendaki-pendaki Indonesia.

Dari keadaan yang saya alami, tak seharusnya puncak adalah tujuan pendakian. Pilihan terbaik yaitu berhenti, tak meneruskan pendakian. Tak ada alasan lain untuk melanjutkan pendakian. Keselamatan adalah hal yang utama.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki sedang berkemah di Pos Kandang Badak yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Feri, rekan saya di organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) yang juga merupakan teman dari Yudi sempat berpesan tentang keselamatan sebelum saya pergi mendaki ke Gunung Pangrango.

“Hati-hati di jalan,” kata Feri dalam pesan Whatsapp.

Pesan itu terngiang begitu saya mengalami hambatan itu di tengah pendakian. Pun, perkataan senior-senior saya di Mapala UI. Safety first!

Begitupun dengan orang yang paling saya sayangi, Dea juga selalu mengingatkan untuk hati-hati bila saya akan mendaki. Tak terkecuali pendakian saya hari ini.

Kehatian-hatian memang modal utama dalam mendaki gunung. Setiap pendaki harus bisa mengobservasi keadaan yang ada di sekitar dan yang dialami. Kepekaan adalah hal yang mutlak. Luangkan waktu untuk berpikir. Kata “STOP” merupakan kunci mujarab saat mendaki gunung. Kata punya kepanjangan “Stop, Thinking, Observation, Planning”

Bila menghadapi bahaya, cobalah berhenti sesaat. Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan segala sesuatu kemungkinan yang bisa diambil agar bisa terhindar dari bahaya. Lihatlah keadaan sekeliling kita. Apakah cukup mendukung? Lalu terakhir, susunlah rencana yang paling mungkin untuk menangani bahaya.

Kembali lagi, mendaki gunung tak harus sampai puncak. Mungkin kesimpulan saya itu akan menjadi kontroversial. Apalagi, jika pendaki sudah datang jauh-jauh ke gunung untuk mendaki. Ada biaya yang sudah dikeluarkan, waktu yang sudah diluangkan, dan memilih untuk mendaki gunung. Lalu, apa urusan saya melarang mendaki sampai puncak?

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Kondisi jalur pendakian Gunung Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Kredo yang berbunyi, “tujuan mendaki gunung adalah sampai dengan selamat di rumah” itu 100 persen benar tanpa bantahan. Saya belajar bahwa pendakian memang tak harus sampai puncak. Masih banyak kesempatan untuk kembali meraih puncak. Toh, gunung yang akan didaki tak akan pergi.

Bagi saya, pendakian gunung adalah sebuah media untuk menguji seorang pendaki atau individu. Ujiannya adalah bagaimana menyiapkan pendakian, bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat sekitar maupun pendaki, kapan batasan fisik bisa menunjang pendakian, dan sederet pertanyaan lain. Bila sudah bisa melampaui ujian itu, maka kita bisa melakukan pendakian dengan baik.

Puncak gunung adalah urusan kesekian dalam mendaki. Keselamatan adalah yang utama. Jangan sia-siakan nyawa demi tiba puncak gunung tanpa pengetahuan yang mumpuni.

Bersepeda Depok – Surabaya: Sejenak Menikmati Purwokerto

Setelah berkelana dengan Si Sepeda Hitam selama 4 hari melewati jalur neraka, saatnya mengistirahatkan diri. Lagipula Si Sepeda Hitam perlu direparasi. Sejenak menikmati kota yang terkenal dengan gunung yang masih aktif yaitu Gunung Slamet.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Hujan turun di depan Sekretariat UPL MPA Unsoed.

Gunung Slamet menjulang tinggi di arah utara Purwokerto. Melambaikan tangan serasa mengajak untuk main ke puncaknya. Tidak ada awan yang menutupi. Gagah dan perkasa tapi kalap kala memuntahkan isi perutnya tahun lalu. Semua orang di kaki gunung mengungsi. Sampai saat ini pun pendakian Gunung Slamet masih belum dibuka. Namun saat ini saya tidak akan mendaki gunung. Hanya menikmati wisata alam dan kota Purwokerto.

Pagi sekali, Purwokerto diguyur hujan. Semakin menambah sejuk suasana kota di kaki Gunung Slamet ini. Tubuh seakan enggan berpisah dari kasur tipis yang menjadi alas tidur di Sekretariat UPL MPA Unsoed ini. Namun rasa malas ini harus dilawan. Si Sepeda Hitam harus direparasi. Kalau tidak perjalanan ini tak akan berlanjut. Rencana hari Minggu, 4 Januari 2015 ini adalah membeli pelek dan menyetel ulang jari-jari. Tak sabar untuk segera mendandani rekan saya yang telah menemani saya hingga Losari sebelum akhirnya tumbang.

Secangkir kopi hitam menghangatkan pagi. Hari ini benar-benar berbeda dengan hari sebelumnya. Saya dapat bangun lebih siang. Tak perlu bangun pukul 05.00 WIB untuk bersiap-siap mengayuh. Namun tak terasa bersantai-santai, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Bersama Kholik, salah satu anggota UPL MPA Unsoed, saya bergegas menuju bengkel sepeda. “Yuk ke deket Lapangan Grendeng. Di sana ada bengkel sepeda.” jelas Kholik. Yuk. Supaya lebih selow nanti..” jawab saya sambil mengambil sepeda beserta sepasang ban yang telah saya lepaskan.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Si Sepeda Hitam direparasi di bengkel dekat Lapangan Grendeng.

Di sebuah tikungan jalan yang bersebelahan dengan warung makan Padang, bengkel sepeda itu terselip. Tak basa-basi, saya langsung turun dan bertanya dengan sang montir sepeda.Misi pak. Ada pelek ukuran 26?” tanya saya. “Ada sih dek tapi bekas. Mau?” jawab pria yang telah berambut putih itu. Setelah saya lihat pelek itu, ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan saya. Karat terlihat di hampir semua bagian pelek. Namun sang montir sepeda itu menyakinkan bahwa kondisi pelek itu masih bagus. “Pak gak ada yang baru?” tanya saya kembali. “Gak ada dek. Kalo mau cari yang baru itu deket SPN (Sekolah Polisi Negara) ada bengkel sepeda lengkap” jawabnya. Segera saya bersama Kholik menuju ke tempat yang disebutkan sang montir sepeda.

Akhirnya saya dapatkan pengganti pelek Si Sepeda Hitam. Pelek tersebut bermerek Araya TM-18 berwarna abu-abu metalik. Sama dengan warna pelek depan. Pelek tersebut biasa digunakan untuk sepeda MTB (Mountain Bike) yang kuat untuk medan bergelombang. Dengan alasan tersebut jadi pelek tersebut pasti akan kuat untuk perjalanan jauh dan membawa beban yang berat. Pelek itu seharga Rp. 100.000. Harga yang setara untuk kualitas yang saya butuhkan. Setelah semua selesai, segera saja saya meluncur kembali ke tempat di mana sepeda saya akan direparasi.

Langit di Purwokerto kembali kelabu. Pertanda hujan akan kembali turun. Setelah saya bertemu dengan sang montir sepeda dan memberitahukan kebutuhan saya, tujuan selanjutnya adalah kembali ke sekretariat. Sang montir sepeda menjanjikan pekerjaan reparasi sepeda akan selesai pada pukul 16.00 WIB. “Pak, saya tinggal dulu ya. Nanti saya ambil. Terima kasih pak.” ujar saya sambil meninggalkan bengkel sepeda yang tak terlalu besar itu. Ya, dek.” balasnya.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Senja bergelayut di Purwokerto.

Sampai hari berganti gelap di Purwokerto, saya hanya habiskan untuk bersantai di sekretariat dan mengambil sepeda yang telah direparasi. Hujan kembali turun kala senja. Hingga akhirnya berhenti ketika adzan maghrib berkumandang memenuhi setiap sudut Kota Purwokerto. Matahari hari ini meninggalkan kesan yang mesra. Ungu dan jingga menghiasi langit. Manis sekali senja ini. Lukisan langit terindah semenjak saya mulai mengayuh dari Kota Depok lima hari yang lalu.

                                                                   ——–

Purwokerto secara administratif merupakan ibukota Kabupaten Banyumas. Berada di kaki Gunung Slamet, Purwokerto menawarkan panorama alam yang memukau. Namun kegagahan Gunung Slamet untuk saat ini tak dapat saya cicipi. Hanya wisata kota di Alun-Alun Purwokerto dan berkunjung ke Air Terjun Pancuran Tujuh yang dapat saya sambangi berhubung waktu yang sangat sempit. Hanya satu hari waktu yang saya miliki untuk beristirahat dan sejenak menikmati Purwokerto.

Minggu malam pertama di tahun 2015 ini, aspal jalan di Purwokerto cukup tergenang. Hujan selama sore hari penyebabnya. Saya bersama Fredy, yang juga anggota UPL MPA Unsoed berkendara ke pusat kota. Ya, Alun-Alun Purwokerto. Sebelumnya, Sakina atau yang akrab saya panggil Kinoy kebetulan sedang berada di Purwokerto dan mengajak saya bertemu di sana. Wartawan Kompas.com yang sebelumnya mengenyam pendidikan di Program Studi Sastra Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kebetulan sedang berada di Purwokerto untuk menghadiri acara keluarga.

Telepon genggam saya di dalam kantong celana bergetar. Di layarnya tertulis “Calling From Kinoy Belanda” . Begitu namanya saya simpan di gawai yang berlambang buah apel ini. “Oi di mana lo? Gw udah di Alun-Alun nih.” Kinoy langsung menyeloroh. “Iye gw jalan. Tunggu 5 menit.” jawab saya di atas motor. Sekejap langsung motor buatan Jepang yang saya tumpangi melesat cepat membelah Jalan Raya HR Bunyamin menuju Alun-Alun Purwokerto.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Kinoy, si Wartawan Kompas.com yang kebetulan berada di Purwokerto. Foto: Kinoy.

Haaaiii Mang. Item banget lu. Ngapain dah cape-cape genjot..” ucap Kinoy ketika pertama kali berjumpa di depan sebuah minimarket. Saya hanya tertawa. Kami bertiga tenggelam dalam perbincangan ala anak muda. Dari mulai gaya hidup, hobi, dunia perkuliahan, dan topik-topik lainnya kami lahap bersama. Tak terasa jam tangan menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kinoy harus segera pulang. Sebelumnya kami bertiga melangkah ke lapangan alun-alun nan hijau. Masyarakat Purwokerto, tua maupun muda riang gembira di pusat kota kebanggaan ini. Ada keluarga yang duduk-duduk di rumput, ada yang berfoto menggunakan tongsis (tongkat narsis), anak-anak berlarian ke sana ke mari atau hanya sekedar lewat seperti kami ini.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Fredy dan Kinoy di depan Air Mancur Alun-ALun Purwokerto. Air mancur Alun-Alun Purwokerto yang baru dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Foto: Kinoy.

Tamasya asyik nan murah meriah ini agaknya menjadi pilihan bagi masyarakat Purwokerto dan sekitarnya untuk berlibur akhir pekan. Pemerintah Kabupaten Banyumas pun ikut berbenah. Beberapa sudut alun-alun diperbaharui rumputnya. Di ujung timur alun-alun pun baru saja dibangun air mancur. Warna-warni terpancar dari pancuran air itu. Semua mengerubung di tempat yang baru dibangun sekitar dua bulan ini. Masih di dekat air mancur, berdiri televisi raksasa yang menayangkan iklan-iklan komersil.

Sayang waktu juga yang memisahkan. Akhirnya saya dan Fredy berpisah dengan Kinoy. Saya kembali ke sekretariat untuk bersiap-siap esok hari untuk pergi ke Air Terjun Pancuran Tujuh. Kenangan malam di Purwokerto terukir. Baru pertama kali saya menginjakkan kaki di alun-alun setelah tiga kali berkunjung ke kota satria ini. Namun ada kenangan buruk yang selalu ditemui di mana-mana. Sampah. Permasalahan klasik yang selalu ada di tempat wisata pun di Indonesia.

                                                                   ——-

Matahari pelan-pelan mengintip di balik awan. Seketika itu juga saya terbangun. Rencana sebelum mengakhiri plesiran di Purwokerto yaitu main ke Air Terjun Pancuran Pitu. Kali ini Reza dan Wawan yang pergi bersama saya. Ah si Fredy masih terlelap dalam mimpinya. Biarlah. Kami bertiga beranjak menanjak ke arah Baturaden. Sejuknya pagi ini di kaki Gunung Slamet.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Batu belerang coklat yang berada di sisi kanan aliran air.

Lalu lintas pagi hari di Purwokerto tak ramai. Jangan bayangkan seperti di Jakarta. Sudah pasti kendaraan berdesakkan. Asap-asap hitam keluar dari knalpot. Suara bising klakson memenuhi jalan. Kiri dan kanan hanya ada orang-orang yang berlomba-lomba untuk segera sampai di kantornya masing-masing. Berbeda di sini, hanya ada hijaunya sawah, orang-orang yang bersepeda untuk beraktifitas sehari-hari, Gunung Slamet yang menjulang tinggi, dan juga dinginnya udara yang mengusap kulit.

Perjalanan motor berhenti di desa nan padat di kaki Gunung Slamet. Kalipagu namanya. Di sana, kami masak dan makan di rumah Bu Yung yang terkenal bagi para pendaki ataupun wisatawan yang ingin pergi ke Air Terjun Pancuran Pitu. Setelah kenyang, kami mulai mendaki menuju tempat yang ramai dikunjungi kala akhir pekan. Jalan berbatu menyambut. Kini lebih dekat ke sawah. Kemeja kotak-kotak merah saya tenggelam di tengah hijaunya lumbung pangan Indonesia ini. Jalan yang dilalui sekarang mulai membuat rasa sakit berkurang. Batu-batu berubah menjadi tanah yang tak terlalu gembur.

Pandangan mata dilempar jauh ke ujung, tujuan plesiran saya terlihat. Namun jalan masih panjang. Puluhan anak tangga masih harus dituruni. Gemericik air membuat perjalanan tak terasa. Nyanyian lirih alam ini mendamaikan hati. Suara itu berbisik melalui dua pipa hitam besar. Burung-burung juga berkicau dengan merdu. Suara-suara itu bagaikan simponi alam yang dipimpin konduktor lihai. Di ujung jalan terdapat satu bendungan air yang luas. Di sana sejenak saya berhenti untuk beristirahat setelah berjalan mendaki anak tangga yang terlihat sengaja di buat. Jalur selanjutnya saya menyeberang satu jembatan kecil yang dibawahnya mengalir air.

Wiiihh ini serem juga kalo buat wisatawan awam..” kata saya sambil kaget.iya ini kan bukan jalur yang biasanya dilewati orang. He he..” kata Wawan sambil tertawa kecil. “Biasanya anak-anak ngambang nih aliran air di kiri dari atas” kata Reza sambil menunjuk aliran air yang mengalir deras. “Oooohhh..” seloroh saya. Aliran air itu ternyata berasal dari air terjun yang nantinya akan ditampung di bendungan. Air itu untuk membantu pengairan sawah dan kebutuhan air warga di kaki gunung. Selain itu, aliran ini dibuat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.

Sampai di bendungan kecil, terlihat dua orang berseragam biru tua dan helm biru muda sedang memeriksa aliran air. Ada yang tak beres nampaknya. Kini lepas dari bendungan kecil itu, sungai yang penuh batu makin melebar. Di tengah hutan kaki Gunung Slamet ini nampak oase yang dilumuri warna coklat muda. Batu-batu mengandung belerang. Orang-orang di sini percaya aliran air belerang ini dapat mengobati penyakit kulit. Bahkan banyak yang sengaja datang jauh-jauh untuk terapi belerang tiap bulan.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Pijat badan di aliran air hangat pancuran tujuh.

Ayo mandi langsung..” ajak Wawan. “Ayolaaah..” kata saya sambil buka baju. Berhubung hari ini bukan akhir pekan, di sebuah gua yang biasanya ramai, saat ini hanya saya berdua saja yang mandi. Berasa tempat pribadi. Di tengah hawa dingin khas kaki gunung, aliran air hangat ini memijit badan saya yang setelah hampir seminggu dipaksa untuk merunduk. Ah nikmatnya pijat dengan aliran air ini. Serasa dipijat oleh terapis profesional. Tak kalah.

Hampir satu jam saya di pancuran ini. Tak terasa. Segelas teh manis hangat sudah menunggu untuk diseruput. Makin lengkap terapi alam ini. Dengan masih bercelana pendek, saya mendaki ke tempat sumber aliran air ini. Lebih panas ternyata. Sumbernya adalah air yang keluar dari tujuh lubang. Oleh karena itu disebut Air Terjun Pancuran Pitu. Pitu berarti tujuh yang berasal dari Bahasa Jawa. Di atas sini cukup ramai. Banyak yang bersantai.

BikeVenture, Air Terjun Pancuran Tujuh, Baturaden, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Tengah, Visit Jawa Tengah, Indonesia, 1000 KM

Berfoto bersama Reza dan Wawan sebelum meninggalkan Air Terjun Pancuran Tujuh.

Hari sudah makin siang. Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Saatnya untuk pulang. Cukup sudah plesiran di Purwokerto. Kami berkemas. Badan sudah segar. Saya siap untuk melanjutkan perjalanan menyusuri jalur selatan. Perpaduan warna hijau dan coklat di Air Terjun Pancuran Tujuh telah saya jejaki. Namun kembali ada satu hal yang saya kurang sukai jika berkunjung ke tempat wisata di Indonesia. Sampah. Semoga para wisatawan sadar untuk menjaga lingkungan. Karena siapa lagi yang akan peduli.

Bersepeda Depok – Surabaya: Etape 4 Tumbangnya Si Sepeda Hitam

Ketika dikayuh, ban belakang terasa tidak stabil. Goyang ke kiri dan ke kanan. Di pinggir sawah yang masih kawasan Pantura, saya berhenti. Ternyata walaupun masih siang hari, ternyata inilah adalah akhir perjalanan hari keempat.

 

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jalur perkiraan Etape 4 berdasarkan Google Maps. Indramayu – Cirebon. Sumber: Google Maps.

Malam hari Cirebon diguyur hujan. Hari ini, 2 Januari 2014, bersamaan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kota Cirebon diramaikan oleh para peziarah dari berbagai kota yang datang ke Keraton untuk melihat prosesi pencucian benda pusaka. Namun saya lebih memilih beristirahat karena esok hari masih harus menempuh perjalanan menuju Purwokerto.

Pagi ini, keadaan sangat berbeda dengan semalam. Sinar matahari menembus di balik celah ventilasi sekretariat Mapala Gunati. Dedaunan menjadi hijau berkilau. Hangat. Saya segera bersiap untuk berangkat menuju Purwokerto. Di sana saya akan beristirahat selama satu hari. Tak seperti sebelumnya yang hanya mampir untuk tidur malam. Pukul 08.00 WIB saya meninggalkan Universitas Swadaya Gunung Jati setelah berfoto bersama.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Bersama anggota Mapala Gunati sebelum memulai perjalanan Cirebon menuju Purwokerto.

Lalu lintas Kota Cirebon tak terlalu ramai pagi ini. Kendaraan yang berplat E tidak banyak yang melintas. Mungkin masih libur awal tahun. Namun bus-bus besar masih menghiasi Jalur Pantura. Kelakuan bus-bus itu masih liar. Walaupun sudah sedikit berkurang dibandingkan ketika melewati Subang menuju Indramayu. Jalan Pantura di dekat Kota Cirebon tidak terlalu besar sehingga mungkin tidak ada kesempatan untuk memacu kendaraannya.

Hari makin siang. Panas matahari serasa membakar kulit. Bekal minum yang diisi di Mapala Gunati cepat sekali berkurang. Dari dua botol yang dibawa, menjelang Kecamatan Gebang, Cirebon tinggal satu botol yang berkapasitas 1 liter. Selain cepat mengalami dehidrasi, perut sekarang sudah lapar. Waktunya makan. Jam juga telah menunjukkan pukul 11.45 WIB. Jalan yang bagai tak ada ujung ini telah saya tempuh sekitar 50 KM.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jarak tempuh. Tegal 63 km, Semarang 210 km, dan Surabaya 510 km.

Di sebuah jembatan layang, saya memilih melewati jalan bawah. Saya ingin cari makan. Sudah terlalu lapar siang ini. Ketika melewati bawah jembatan layang, bau asin memenuhi jalan. Sejauh saya memandang orang-orang ramai berkumpul. Ternyata sebuah pasar. Melintas sebuah jembatan, di kiri jalan terdapat Sungai Ciberes. Perahu-perahu nelayan sedang parkir di sungai itu. Udang, ikan, cumi, dan hewan laut lain berjajar dengan rapi di sebuah meja. Para pedagang memenuhi kiri jalan. Mata saya menelusuri setiap jengkal sudut jalan mencari warung makan. Hingga di sebelah kanan jalan, dekat putaran jalan, saya berhenti.

Bu makan ya..” ucap saya.

Silakan dek. Maem e anggo opo dek? (makannya pakai apa dek?)” jawabnya dengan logat jawa setengah sunda.

Nganggo empal e bu karo tempe goreng, minum e es teh” timpal saya dengan bahasa jawa

Dari mana dek? Mau kemana? Kok nge-pit (sepedaan) ? tanyanya sambil mendulang nasi dari ricecooker.

Dari Depok bu. Mau ke Surabaya..” jawab saya sambil tersenyum mengatur nafas.

Wah iya opo dik? Adoh temen (jauh banget). Sendirian po? Ra takut?” tanya ibu itu sambil menaruh makanannya di hadapan saya.

iya bu. Ya takut gak takut” jawab saya sambil menyantap makanan dengan lahap.

Perbincangan itu terus berlanjut sampai saya selesai makan. Ibu si penjual warung makan menceritakan tentang keluarganya. Mulai dari anaknya yang tinggal di Yogyakarta dan kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta hingga kesehariannya berjualan.

Perut kenyang. Tak terasa satu jam beristirahat. Sepeda mulai dikayuh kembali. Ucapan hati-hati mengantarkan saya kembali ke Jalan Raya Cirebon-Brebes. Kembali berhadapan dengan bus-bus liar. Kembali ke pemandangan sawah-sawah yang menghampar luas. Klakson bus-bus mulai meneriaki saya kembali. Tak jarang kejadian di Subang-Indramayu terulang. Jarak sepeda dan bus hanya beberapa meter. Memaksa untuk keluar dari jalan yang beraspal.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Menyusuri Jalur Pantura Cirebon menuju Losari.

Gebang berakhir. Mulai memasuki Losari. Namun masih termasuk ke Kabupaten Cirebon. Perbatasan Jawa Tengah masih 15 KM. Satu jam perjalanan. Kala pedal dikayuh, mulai terasa ada yang aneh. Sesekali saya menengok ke bagian bawah di belakang. Ternyata bagian belakang sepeda berlarian ke kiri dan kanan. Ban belakang tak stabil putarannya. Bunyi seperti dua besi beradu juga terdengar. Di depan sebuah warung, saya berhenti untuk mengeceknya.

Di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah ini, akhirnya Si Sepeda Hitam mengalami masalah. Pelek belakang pecah. Tiga buah jari-jari yang menyambungkan dengan poros ban lepas. Ban dalamnya pun terlihat. Beberapa sudah mulai retak. Memang kualitas peleknya tidak bagus. Jenis pelek ini adalah single wall –pelek dengan satu sisi- . Jalan Pantura yang bergelombang juga menyebabkan pelek rusak. Ditambah pula beban yang ditumpu bagian belakang sepeda ini tidaklah ringan. Berat bawaan perjalanan ini hampir 10 kg. Belum lagi berat badan saya yang hampir 65 kg. Total berat jampir 80 kg. Memang mungkin waktunya untuk tumbang.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Seorang warga asli Losari, Jawa Barat sedang menelpon saat Si Sepeda Hitam mengalami kerusakan.

Dengan keadaan seperti ini, saya memilih rencana untuk memperbaiki kerusakan. Kebetulan saya sudah mencapai perbatasan Jawa Barat. Saat ini saya berada di Pertigaan Losari – Ciledug. Daerah yang cukup ramai. Saya berhenti di sebuah pangkalan ojek dan becak. Di tempat ini banyak bus dari Jakarta berhenti. “Permisi pak. Di sini ada bengkel sepeda terdekat?” tanya saya kepada seorang tukang becak. “Ada dik tapi gak lengkap. Yang lengkap ada di Purwokerto” jawabnya setelah dia tahu kerusakan sepeda saya. Mau tak mau saya harus pergi ke Purwokerto.

Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB. Saya memutuskan untuk mengambil rencana darurat yang telah saya persiapkan jika mengalami hambatan pada sepeda. Sepeda akan saya bawa menggunakan bus ke kota terdekat yaitu Purwokerto. Tidak ada pilihan lain demi kelanjutan perjalanan ini. Sangat berat untuk mengambil keputusan ini. Saya segera melepaskan ban dari tubuh sepeda. Dalam sekejap si kaki sepeda sudah terlepas. Saya segera menunggu bus ke arah Purwokerto.

Hampir 3 jam saya menunggu. Berpuluh-puluh bus tujuan Purwokerto hanya lewat begitu saja. Tak ada yang menaikkan penumpang. Hanya sesekali berhenti menurunkan penumpang. Tukang becak dan ojek yang langsung berlarian menyerbu bus yang berhenti menjadi pemandangan saya yang terduduk di sebuah tripod. Selama menunggu, Losari tak henti turun hujan. Sangat deras. Mungkin bagi para pengendara jarak pandangnya hanya 15 meter. Menurut tukang becak yang menemani saya, hujan biasanya turun hingga malam.

Bus-bus tujuan Purwokerto yang berhenti di sini hanya ada dua. Bus itu adalah Sari Dede dan Alpine. Sempat bus itu berhenti. Namun saya gagal menaiki keduanya. Bus pertama, Sari Dede mematok tiket yang di luar logika. Sang kondektur memasang tarif Rp. 200.000 untuk menuju Purwokerto. Saya hanya menggerutu sambil berucap “gila apa ini. Rp. 200.000 mah dari Jakarta.” Sang tukang becak berkata “Maulud ini dek. Bus-bus pada sombong.” Lain lagi cerita dengan Bus Alpine. Kalau bus ini tidak mau menaikkan saya karena sang kondektur tahu saya membawa barang bawaan yaitu sepeda.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Losari diguyur hujan sejak siang sampai sore hari. Menurut warga setempat, hujan biasa turun sampai malam.

Akhirnya satu bus besar berwarna putih dan biru berhenti. Bus Sahabat namanya. Bus itu tujuan Tegal. Saya harus memutar otak dengan cepat. Segera saja saya berlari menghampiri bus itu yang berhenti sekitar 10 meter dari tempat saya berteduh. “Pak ke Tegal ya? Saya naik sebentar saya ambil bawaan saya” kata saya kepada sang kondektur. “Jauh gak? Ayo cepet.” jawab si kondektur. Segera saya berlari mengambil bawaan saya. Yang saya terkejut adalah para tukang becak dan ojek di tempat saya menunggu bus saling membantu mengambil bawaan saya. Kami berlarian. Kemudian langsung memasukkan ke dalam bagasi. Sungguh tulus. Mungkin mereka tahu dan ikut rasakan kesulitan yang saya hadapi. Banyak orang baik memang.

Bus pun kembali melaju dengan kencang. Saya pun merasakan bus yang menjadi teman saya berkendara di Jalur Pantura. Sangat liar. Sementara Hujan masih deras. Di dalam bus cukup ramai. Hanya beberapa kursi yang tidak terisi. Lagu-lagu lawas diputar. Artis-artis seperti Ebiet G. Ade, Koes Plus, dll diputar oleh sang supir. Tak terasa bus sudah memasuki Kota Tegal. Memang bus ini bukan ke arah Purwokerto. Saya harus berganti bus kembali. Pilihan bus tersebut adalah Bus Aries.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Si Sepeda Hitam di dalam Bus Aries dengan rute Tegal-Purwokerto.

Pukul 18.45 WIB, bus tiba di Terminal Tegal. Saya segera turun dan mencari bus. Secara sigap seorang kuli angkut membantu saya menurunkan barang bawaan saya. Tak lama menunggu, 15 menit kemudian, Bus Aries yang berukuran ¾ datang. Segera si kuli angkut itu menaikkan kembali barang bawaan saya. Di dalam bus ini saya dipatok harga tiket yang cukup mahal oleh kondektur palsu. Biasanya ke Purwokerto hanya dikenakan Rp. 25.000 tapi oleh dia saya dikenakan Rp. 40.000. Saya harus membayar untuk dua orang karena saya membawa barang. Sementara uang saya hanya tinggal Rp. 50.000. Mau tak mau, si kondektur palsu itu menerima uang saya. Dia kesal pada kondektur asli bus ini. Saya mencuri dengar perbincangan antara mereka. “Kenapa gak ditanya dulu kalo bawaannya itu” kata si kondektur palsu. “Biarin wes” jawab si kondektur asli. Begitu kira-kira perbincangan mereka yang menggunakan dalam bahasa Jawa yang saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Di dalam bus ini saya hanya tidur. Menunggu bus tiba di Purwokerto. Jalan di Bumi Ayu yang menanjak dan berkelok yang menjadi medan yang harus saya lewati menggunakan sepeda, tidak saya rasakan. Cukup menantang medannya. Namun saat ini saya rasakan menggunakan bus. Malam hari pukul 23.00 WIB, bus tiba di Purwokerto. Saya turun di Terminal Lama Purwokerto untuk menunggu dijemput oleh salah satu anggota UPL MPA Unsoed. Dia adalah anggota mahasiswa pencinta alam Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Losari, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Di Terminal Purwokerto Lama, saya diturunkan oleh sang kondektur Bus Aries. Di sini saya menunggu dijemput oleh anggota UPL MPA UNsoed.

Rencana saya awalnya di Purwokerto adalah istirahat selama satu hari. Namun karena saya tiba lebih awal, saya akan tinggal di Purwokerto selama dua hari. Hari pertama untuk memperbaiki sepeda dan hari kedua untuk beristirahat juga menikmati Purwokerto. Suasana Purwokerto saya rindukan. Sejuknya kota, tertibnya lalu lintas pengendara, ramah warganya, juga bahasanya menjadi daya tarik bagi saya. Lama tak berkunjung ke sini. Enam tahun yang lalu saya pernah main di Purwokerto. Wisnu, anggota UPL MPA Unsoed yang menjemput saya akhirnya datang. Saya bergegas naik dan menuju sekretariat pencinta alamnya untuk beristirahat. Hari masih panjang. Perjalanan menuju Purwokerto naik sepeda hari ini berakhir di Losari. Namun ini bukan akhir perjalanan saya menuju Surabaya. Semua masih berlanjut.

Bersepeda Depok – Surabaya: Etape 1 Depok – Karawang

Menjelajah Indonesia bukan melulu mengenai keindahan tempat wisata. Namun bagaimana melatih kepekaan terhadap kondisi sosial budaya yang kita datangi atau lewati. Realita sosial yang kita lihat, dengar, dan rasakan sepanjang jalan dapat dijadikan kita lebih bijak dalam menjalani hidup. Saya memilih menjelajah dengan cara bersepeda.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Cikarang, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jalur perkiraan Etape 1 berdasarkan Google Maps. Depok – Cileungsi – Kali Malang – Tambun – Cibitung – Cikarang – Karawang. Sumber: Google Maps.

Bersepeda adalah salah cara murah untuk berpindah ke sebuah tempat. Selain murah, juga dapat membuat sehat jasmani. Namun jika memilih untuk berpergian jauh, sudah semestinya dipersiapkan sebelum berangkat. Hal-hal itu seperti kesiapan sepeda, fisik, rencana perjalanan, medis, dan hal-hal pendukung lainnya.

Kali ini saya mencoba menguji ketahanan diri. Apalagi perjalanan ini saya lakoni sendiri. Semua harus dilakukan sendiri. Apapun masalahnya harus dipecahkan sendiri. Perencanaan, pelaksanaan hingga nanti pasca kegiatan dibuat sendiri. Inilah tantangan yang sangat menarik untuk dihadapi.

Perjalanan ini saya akan menuju Surabaya, Jawa Timur dari Depok, Jawa Barat. Target jarak tempuh yang harus saya pecahkan adalah 1000 km. Perjalanan ini dimulai dari 31 Desember 2014 dan ditargetkan tiba di Surabaya tanggal 17 Januari 2015. Selain bersepeda dan berwisata, saya juga mengamati keadaan sosial budaya dari dekat. Soe Hok-Gie berpetuah dan menjadi nilai organisasi Mapala UI yaitu “…patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.Itulah nilai yang saya pegang teguh sampai saat ini dan melatarbelakangi perjalanan ini.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Cikarang, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Memasuki Cibitung. Sampai di perbatasan Tambun – Cibitung pukul 08.30 WIB.

Etape 1 berawal dari Depok. Hari ini (31/12/2014), saya berangkat pukul 06.00 WIB dari rumah saya di bilangan Sawangan, Depok. Udara segar mengantar saya meninggalkan tempat ternyaman bagi saya. Aspal Jalan Raya Sawangan juga ikut mengantarkan saya hingga roda sepeda memasuki Jalan Raya Margonda dan berbelok di Jalan Raya Juanda. Ah agak berat juga meninggalkan orang tua saya di rumah. Namun ini adalah pilihan saya. Mereka pun mengerti.

Jalan Juanda menguji saya untuk pertama kalinya. Medan menanjak. Dua jembatan di mana Sungai Ciliwung mengalir telah terlewati. Setelah melewati ujian pertama, Jalan Raya Bogor terlihat. Saya menyeberanginya. Jalan Tol Cijago berada di sebelah kanan saya. Saya akan menuju arah Cileungsi. Sebelumnya akan bertemu dengan Cibubur Junction. Medan banyak yang datar. Keuntungan untuk mengistirahatkan kaki.

Setang sepeda berbelok ke arah Kranggan. Di perjalanan, saya bertemu dengan pesepeda lainnya. Sebuah jempol diacungkan ke arah saya dan berkata “hati-hati mas.” sambil berlalu. Kepedulian yang indah. Pedal terus dikayuh. Di tembok-tembok banyak coretan yang bertuliskan Ujung Aspal Pondok Gede. Saya berpikir sudah memasuki daerah Pondok Gede. Tetiba di sebuah pertigaan, saya teringat dengan jalan ini. Ya, kemarin baru saja saya lewati. Ini menuju Jatiwaringin.

Sinar matahari terhalang awan menyebabkan hangatnya pagi tak terasa di kulit. Lalu lintas mulai padat. Mungkin banyak yang bekerja di hari terakhir tahun 2014 ini. Saya hanya dapat tersenyum karena masih diberi kesempatan untuk bepergian. Perempatan Jalan Raya Kali Malang tiba. Kalau lurus, akan mengarah ke Klender. Ke kiri ke arah Cawang. Sudah pasti saya berbelok ke kiri menuju Bekasi.

Jalan Kali Malang sungguh membosankan. Terlalu panjang bagi saya. Di sebelah kan, aliran coklat Inspeksi Kali Malang mendampingi roda yang berputar. Mall Metropolitan terlihat. Tandanya sudah masuk Kota Bekasi. Jalan masih lurus. Ah tak ada habisnya. Hingga saya sampai di perbatasan Tambun dan Cibitung pukul 08.30 WIB. Saya beristirahat dan juga mendokumentasikan perjalanan. Nasib berpergian sendiri adalah kurangnya foto saya. Namun sepeda yang akan menjadi teman selama setengah bulan lebih ini sudah mewakili.

Pabrik-pabrik mulai banyak di kiri jalan Cibitung. Cukup banyak polusi yang dihasilkan. Belum lagi asap truk milik pabrik yang bongkar muat. Limbah pabrik juga tidak jelas dibuang kemana. Saya tak melihat jelas jenis pabrik yang ada. Hanya melengos saja sambil meneruskan perjalanan. Cukup sebal saya dibuatnya. Lebih baik terus mengayuh.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Cikarang, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Memasuki Cikarang. Pukul 12.00 WIB, Cikarang diguyur hujan deras sehingga menunda perjalanan sampai 4 jam.

Pukul 10.00 WIB, saya merasa senang. Akhirnya saya bertemu kehidupan. Saya telah memasuki Cikarang. Walaupun masih heran karena di mana-mana tertuliskan nama “Bekasi” . Ternyata saya perjuangan meninggalkan Bekasi belum usai. Dua jam lagi pukul 12.00 WIB yang mana adalah waktu istirahat makan siang. Saya putuskan untuk mampir ke tempat saudara di daerah Desa Sukatani, Cikarang. Sekedar meluruskan kaki dan mengisi ulang persediaan air mineral saya yang sudah mulai habis.

Pukul 11.30 WIB saya sampai. Sudah lama juga saya tidak berkunjung. Sepupu sudah mulai tumbuh besar. Saya disambut dengan jus mangga. Sungguh segar. Namun kesegaran itu tak lama. Hujan turun dengan deras. Itu berarti perjalanan saya akan tertunda. Benar saja, hujan lama tak berhenti. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menerobos hujan yang sudah mulai reda. Namun di balik tertundanya perjalanan, saya dapat makan siang gratis dan dapat tidur siang. Lumayan.

Perjalanan dilanjutkan di tengah hujan rintik-rintik. Namun terlihat sisa-sisa hujan deras yaitu tergenangnya jalan. Saya melipir ke sebelah kanan jalan untuk menghindari jalan yang berlubang. Target sore ini adalah tiba di Universitas Singaperbangsa Karawang untuk menginap di sekretariat Mapalaska. Menurut google maps, jarak dari Desa Sukatani ke kampus tersebut berkisar 26 KM. Dengan kecepatan rata-rata 20 km/jam, jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu 1.5 jam.

BikeVenture, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Karawang, Cikarang, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Memasuki Kabupaten Karawang. Dari titik ini, perjalanan menuju Universitas Singaperbangsa Karawang masih 1.5 jam.

Pukul 17.00 WIB, setelah melewati jembatan yang mana Sungai Citarum mengalir di bawahnya, saya mencapai perbatasan Cikarang – Karawang. Kini benar bahwa saya telah meninggalkan Kabupaten Bekasi. Saya berfoto sejenak. Selamat datang Kabupaten Karawang. Kemudian, saya bertemu sebuah perempatan besar di mana kemacetan terjadi cukup parah. Hampir empat kali lampu merah, saya dibuat menunggu. Di lampu merah itu, saya bertanya untuk memastikan tujuan saya ke salah satu pengendara, “Pak, Unsika (Universitas Singaperbangsa Karawang) di mana ya?” . Pengendara mobil itu dengan sigap menjawab, “Di lampu merah ketiga, kamu belok kanan. Nanti tanya lagi.Berbarengan dengan jawaban tersebut, lampu hijau menyala dan saya lanjut mengayuh. Setelah lampu merah yang membosankan itu, jalan relatif lancar.

Kemudi sepeda berbelok menuju Masjid Agung Karawang. Geliat tahun baru menyelimuti Karawang. Suara terompet berkumandang di setiap jalan. Mobil-mobil dan motor-motor menjejali jalan-jalan. Semua nampak memiliki rencana masing-masing menghabiskan malam pergantian tahun. Begitu juga dengan saya yang memiliki rencana bersepeda Jakarta – Surabaya. Saya terus menelusuri kabupaten yang dalam Bahasa Sunda berarti “penuh dengan lubang“.

Magrib pun tiba. Masih tersisa jarak 1.5 km menyusuri Jalan H.S Ronggowaluyo, Teluk Jambe, Karawang. Saya segera memburu agar tak terlalu malam. Sempat bingung karena rute yang dilalui seperti daerah perumahan dengan jalan yang hanya dapat dilewati dua kendaraan. Namun harapan datang. Di sebelah kanan saya telah nampak Kampus UNSIKA. Ternyata itu kampus dua. Kampus satu masih depan.

Sebuah papan panjat berdiri dengan gagah. Saya simpulkan ini adalah kampus satu yang mana akan saya singgah di Sekretariat Mapalaska untuk beristirahat.Sekretariatnya ada di belakang masjid” jawab satpam kampus ketika saya tanyakan lokasi Sekretariat Mapalaska. Segera meluncur saya sambil mengatakan “terima kasih pak” . Sempat terkejut dia ketika mengetahui saya mengayuh dari Depok.

Malam tahun baru ini saya isi dengan bercengkerama dengan para anggota Mapalaska. Selain itu saya juga mengabarkan posisi saya ke orang-orang tercinta. Malam tahun baru yang berbeda dengan biasanya. Apalagi dengan umur saya yang sudah menginjak usia perak. Selamat malam. Selamat tahun baru. Sampai bertemu lagi di tulisan tahun depan.

Satu Lagi Potensi Wisata di Taman Nasional Alas Purwo

Ini pantai kalau dikelola dengan baik, bagus nih buat pariwisata di Jawa Timur. Tapi sayang begini ya..” ucap Satria, teman yang memboncengi saya.

Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, Pantai Triangulasi, Wisata Pantai, Guest House, Pesanggrahan, Traveling, Jalan-Jalan, Traveler, Backpacker, Potensi Wisata, Visit Jawa Timur, Visit Indonesia, Pariwisata, Wonderfull Indonesia, Destinasi, Beach,

Pantai Triangulasi merupakan salah satu potensi wisata yang menarik wisatawan jika dikembangkan secara serius.

Berbicara tentang pariwisata di Indonesia tentu tak akan ada habisnya untuk dieksplorasi. Dari ujung barat hingga timur, Indonesia memiliki lebih dari 50 taman nasional. Salah satunya adalah Taman Nasional Alas Purwo yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Kawasan yang dulunya berstatus Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan ini memiliki berbagai titik yang dapat dikunjungi untuk berwisata. Mulai dari hutan yang dapat dijelajahi, pengamatan tumbuhan dan satwa liar, pantai yang berpasir putih, ombak yang dapat diselancari hingga wisata ziarah ke situs-situs yang dianggap mistis oleh warga sekitar.

Salah satu titik wisata yang ditawarkan di Taman Nasional Alas Purwo adalah Pantai Triangulasi. Pantai Triangulasi terletak tiga kilometer dari pintu masuk taman nasional. Di dekat pintu taman nasional juga terdapat pilihan jalan untuk menuju Pantai Ngagelan dan Bedul. Di Ngagelan merupakan tempat penetasan telur penyu semi alami. Sementara di Bedul terdapat hampir 27 jenis mangrove yang membentang di tepi Segara Anakan.

Di Taman Nasional Alas Purwo, akses jalan masih agak sulit. Jalan untuk menuju Taman Nasional Alas Purwo masih banyak yang belum diaspal. Namun hal itu bukanlah hambatan jika menyukai tantangan. Melintas menuju Pantai Triangulasi, Sobat Traveler disuguhkan dengan lebatnya hutan hujan dataran rendah yang membentang di sisi kiri dan kanan jalan. Tempat peribadatan umat Hindu, Pura Luhur Giri Salaka juga terdapat di sebelah kiri jalan.

Memasuki Pantai Triangulasi, di sebelah kanan jalan terdapat guest house yang disewakan oleh pihak taman nasional. Jalan yang awalnya didominasi tanah dan batu-batu kecil kini berganti dengan pasir. Ombak laut pun bak menari-nari menyambut para pengunjung. Gemuruhnya pun tak mau kalah bernyanyi. Menurut petugas Taman Nasional Alas Purwo, pantai ini hampir jarang dikunjungi kecuali jika musim liburan yang didominasi oleh wisatawan yang datang secara rombongan atau wisatawan yang menginap di guest house. Cukup disayangkan dengan keindahan yang disuguhkan di ujung timur Pulau Jawa ini.

Pasir di Pantai Triangulasi ini tergolong putih. Butiran pasirnya sangat halus. Namun yang keindahan pantai ini agak terganggu dengan sampah yang terbawa dari laut. Juga oleh ranting-ranting pohon. Secara keseluruhan, pantai ini dapat digolongkan sebagai potensi wisata yang menarik jika dikelola dengan baik. Senada dengan ucapan Satria yang juga pertama kali mengunjungi pantai ini, “Ini pantai kalau dikelola dengan baik, bagus nih buat pariwisata di Jawa Timur. Tapi sayang begini ya.” Apalagi sudah ditunjang dengan fasilitas penginapan di dekat pantai. Satu hal yang perlu diperbaiki adalah fasilitas tempat bersantai yang ada di dekat pantai yang telah rusak.

Berada di Pantai Triangulasi, Sobat Traveler tak diperbolehkan melakukan aktifitas mandi di laut layaknya jika berada di Pantai Utara Jawa. Pantai Triangulasi yang berada di selatan Pulau Jawa mempunyai ombak yang sangat besar dan siap menarik siapapun yang mencoba berenang. Cukup menyusuri sepanjang garis pantai, Sobat Traveler dapat menikmati keindahan pantai dan juga dapat menghirup udara yang bertiup. Selain itu jika beruntung, Sobat Traveler dapat melihat rusa-rusa yang merapat ke pinggir laut untuk minum. Dapat dibayangkan bukan betapa sepinya pantai ini hingga hewan-hewan dapat menampakkan dirinya.

Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, Pantai Triangulasi, Wisata Pantai, Guest House, Pesanggrahan, Traveling, Jalan-Jalan, Traveler, Backpacker, Potensi Wisata, Visit Jawa Timur, Visit Indonesia, Pariwisata, Wonderfull Indonesia, Destinasi, Beach,

Papan himbauan yang ada di pinggir Pantai Triangulasi. Jika mengunjungi Pantai Triangulasi, harap taati himbauan yang ada.

Jika mengunjungi Pantai Triangulasi, Sobat Traveler harus mentaati peraturan yang telah ditetapkan pihak taman nasional. Pengunjung dilarang menebang, mengambil, memotong, menangkap membunuh, mengangkat segala jenis tumbuhan dan hewan baik yang hidup dan mati, Yang kedua menanam, menebar, membawa segala jenis tumbuhan dan hewan dari luar kawasan. Itulah peraturan yang ditegakkan untuk melindungi flora dan fauna di kawasan taman nasional. Sebenarnya hal ini juga merupakan etika yang harus diperhatikan jika berkunjung ke tempat wisata manapun.