Mendaki Gunung Tak Harus Sampai Puncak!

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Gunung Pangrango dilihat dari Cibodas, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

“Saya cukup sampai di sini saja. Kalian lanjut saja ke Puncak Pangrango,”

Saya ucapkan kalimat itu kepada rekan-rekan pendakian saya yaitu Yudi dan Sherly ketika kami mulai mendaki ke arah leher Gunung Pangrango, Jawa Barat dari Pos Kandang Badak pada Minggu (3/9/2017) siang. Itulah keputusan yang saya ambil berdasarkan kondisi tubuh yang tak lagi bisa mendukung perjalanan.

Setelah itu, mereka mulai menghilang di tengah rimba hutan Gunung Pangrango dan meninggalkan saya di pinggir jalur pendakian.

Keputusan itu saya ambil bukan tanpa alasan. Langkah saya mulai tertatih-tatih begitu meninggalkan Pos Kandang Badak di area Gunung Gede Pangrango. Kepala saya sudah mulai pusing. Tubuh saya juga terasa gampang lelah. Sementara, nyeri juga menyerang persendian kaki.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki melewati pos Telaga Biru yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Sekali lagi, keputusan itu sudah saya ambil dengan matang. Saya sempat berhenti dan menakar kemampuan untuk melanjutkan pendakian Gunung Pangrango. Padahal, saya sempat memutuskan kembali mendaki sejauh 200 meter. Pada akhirnya, saya benar-benar menghentikan pendakian saya dan berputar arah kembali ke Pos Kandang Badak.

Sebelumnya, kami bertiga mengawali pendakian ke Gunung Pangrango pukul 06.30 WIB dari Pos Pendakian Cibodas. Dari perjalanan awal, saya belum merasakan lelah yang berarti. Namun, memang kondisi tubuh saya sedang tidak fit. Saya mengalami sakit flu. Meski begitu, saya tetap bersikeras untuk mendaki gunung yang dahulu merupakan tempat kesukaan aktivis era 60-an, Soe Hok Gie.

Ada kesan seakan memaksakan kehendak atau ego untuk mendaki gunung di tengah kondisi yang tidak fit. Itu jelas tak boleh ditiru. Saya mengakui kecerobohan itu demi sebongkah ketenangan yang ditawarkan oleh Lembah Mandalawangi. Saya pun terkena akibatnya.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki tengah mendokumentasikan panorama Telaga Biru yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Saya dan rekan terlambat sekitar satu jam untuk tiba di Pos Kandang Badak. Idealnya, jika berjalan dengan konstan, Pos Kandang Badak bisa ditempuh dalam kurun waktu tiga jam. Namun, kami menempuhnya dalam waktu empat jam.

Memang berat rasanya harus membuang kesempatan untuk meraih puncak Gunung Pangrango. Apalagi dengan pemandangan bunga edelweis yang menghampar. Dari puncak Pangrango, Gunung Gede bisa terlihat. Gunung Salak juga bisa terlihat dari alun-alun Lembah Mandalawangi.

Semua keindahan itu kini menjadi fatamorgana untuk saya. Saya kini hanya duduk termenung di jalur pendakian Gunung Pangrango sambil mendengarkan alunan angin yang menyapu dedaunan.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki sedang duduk istirahat di Pos Panyangcangan yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Keputusan yang saya ambil sudah tepat. Tak baik jika memaksakan kehendak atau menuruti ego untuk mencapai puncak. Walaupun, kali ini suasana Pangrango berbeda dengan kehadiran rekan-rekan pendakian saya, keputusan itu sudah bulat. Saya berhenti di tengah jalur pendakian, meninggalkan rekan-rekan pendakian, dan menunggu kembalinya mereka di Pos Kandang Badak.

Perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango via jalur Cibodas juga tak main-main. Untuk menuju puncak Gunung Pangrango di ketinggian 3.019 meter di atas permukaan laut, jalur yang dilalui terbilang ekstrem.

Di jalur menuju Puncak Pangrango, ada kalanya kita harus merayap, melompati batang pohon, memanjat akar pohon, dan melewati jalur tanah yang terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Saya tak bisa menyepelekan meski saya sudah berpuluh-puluh kali berhasil menggapai Puncak Pangrango.

Bisa dibayangkan bila saya tetap nekat melanjutkan pendakian di tengah keadaan yang tak fit. Ancaman bahaya seperti pingsan, hipotermia, dan cedera kaki bisa menimpa saya. Bila akhirnya pun tiba di puncak Pangrango, pastinya akan terlalu sore. Hal itu nanti akan berimbas pada perjalanan turun yang mau tak mau dilakukan pada malam hari. Hal itu jelas sangat berbahaya!

Memang boleh diakui, bisa berdiri di puncak gunung adalah suatu kebanggaan tersendiri. Rasa lelah dibayar dengan keindahan yang ada di puncak gunung. Koleksi swafoto atau foto pemandangan bisa diambil dan lalu diunggah ke media sosial. Kemudian, unggahan foto di media sosial diharapkan bisa menuai respon dari warganet. Cerita-cerita perjalanan juga bisa dibagikan ke teman-teman lain.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Gunung Pangrango dilihat dari jalur pendakian Cibodas, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Dari semua kebanggaan itu tentu tak mudah untuk dicapai. Ada risiko yang menghadang. setiap saat. Salah mengambil keputusan bisa berakibat fatal. Musibah bisa datang menghampiri setiap saat. Mendaki gunung adalah kegiatan yang penuh dengan marabahaya. Saya menyadari betul bahaya itu.

Pengambilan keputusan yang buruk dikenal sebagai salah satu penyebab musibah. Hal itu termasuk jenis bahaya subyektif (subjective dangerous). Bahaya itu termasuk juga seperti pengetahuan mendaki gunung yang minim, kondisi badan yang tidak fit, dan lain-lain. Di Indonesia, berdasarkan pemantauan saya, bahaya-bahaya tersebut masih banyak menghantui pendaki-pendaki Indonesia.

Dari keadaan yang saya alami, tak seharusnya puncak adalah tujuan pendakian. Pilihan terbaik yaitu berhenti, tak meneruskan pendakian. Tak ada alasan lain untuk melanjutkan pendakian. Keselamatan adalah hal yang utama.

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Pendaki sedang berkemah di Pos Kandang Badak yang termasuk ke dalam area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Feri, rekan saya di organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) yang juga merupakan teman dari Yudi sempat berpesan tentang keselamatan sebelum saya pergi mendaki ke Gunung Pangrango.

“Hati-hati di jalan,” kata Feri dalam pesan Whatsapp.

Pesan itu terngiang begitu saya mengalami hambatan itu di tengah pendakian. Pun, perkataan senior-senior saya di Mapala UI. Safety first!

Begitupun dengan orang yang paling saya sayangi, Dea juga selalu mengingatkan untuk hati-hati bila saya akan mendaki. Tak terkecuali pendakian saya hari ini.

Kehatian-hatian memang modal utama dalam mendaki gunung. Setiap pendaki harus bisa mengobservasi keadaan yang ada di sekitar dan yang dialami. Kepekaan adalah hal yang mutlak. Luangkan waktu untuk berpikir. Kata “STOP” merupakan kunci mujarab saat mendaki gunung. Kata punya kepanjangan “Stop, Thinking, Observation, Planning”

Bila menghadapi bahaya, cobalah berhenti sesaat. Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan segala sesuatu kemungkinan yang bisa diambil agar bisa terhindar dari bahaya. Lihatlah keadaan sekeliling kita. Apakah cukup mendukung? Lalu terakhir, susunlah rencana yang paling mungkin untuk menangani bahaya.

Kembali lagi, mendaki gunung tak harus sampai puncak. Mungkin kesimpulan saya itu akan menjadi kontroversial. Apalagi, jika pendaki sudah datang jauh-jauh ke gunung untuk mendaki. Ada biaya yang sudah dikeluarkan, waktu yang sudah diluangkan, dan memilih untuk mendaki gunung. Lalu, apa urusan saya melarang mendaki sampai puncak?

Gunung Gede, Gunung Pangrango, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Adventure, Adventurer, Backpacker, Pendaki, Pos Kandang Badak, Tips Mendaki Gunung, Travel, Traveling, Traveler, Mountainer, Mountain, Hiking

Kondisi jalur pendakian Gunung Pangrango, Jawa Barat, Minggu (3/9/2017).

Kredo yang berbunyi, “tujuan mendaki gunung adalah sampai dengan selamat di rumah” itu 100 persen benar tanpa bantahan. Saya belajar bahwa pendakian memang tak harus sampai puncak. Masih banyak kesempatan untuk kembali meraih puncak. Toh, gunung yang akan didaki tak akan pergi.

Bagi saya, pendakian gunung adalah sebuah media untuk menguji seorang pendaki atau individu. Ujiannya adalah bagaimana menyiapkan pendakian, bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat sekitar maupun pendaki, kapan batasan fisik bisa menunjang pendakian, dan sederet pertanyaan lain. Bila sudah bisa melampaui ujian itu, maka kita bisa melakukan pendakian dengan baik.

Puncak gunung adalah urusan kesekian dalam mendaki. Keselamatan adalah yang utama. Jangan sia-siakan nyawa demi tiba puncak gunung tanpa pengetahuan yang mumpuni.

“Saya Wartawan, Bukan Wisatawan..”

dsc_0663“Mau ke mana lagi nih?”

“Enak ya kerjaannya jalan-jalan terus..Gratis lagi.”

“Gue pengen deh kerja kaya lo. Liburan terus,”

“Perasaan kemarin lo abis jalan-jalan deh, kok sekarang jalan lagi?”

***

Seperti itulah kalimat-kalimat itu kerap mampir saat sedang bersua dengan teman baru-baru ini. Baik itu teman yang dekat, maupun teman yang lama tak menampakkan batang hidungnya. Semua kalimat itu mencecar dan harus dijawab.

“Yah, enak gak enak sih. Tapi ya jalanin aja,” ucap saya menanggapi beberapa pertanyaan itu.

Memang serba salah ketika hanya melihat saya dari media sosial. Aktivitas layaknya wisatawan yang sedang bervakansi memang saya rasakan. Pemandangan gunung-gunung, laut, bukit-bukit, bahkan aneka ragam acara kebudayaan bisa saya lihat. Terkadang saya unggah ke media sosial.

Itu yang terlihat.

Oh ya, nama pekerjaan saya adalah wartawan. Lebih khusus lagi, saya menulis tentang pariwisata atau istilah kerennya “Travel Journalist“. Ruang lingkupnya mulai dari berita-berita tentang wisata alam, budaya, buatan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Saya juga turut menulis berita-berita terkait pemerintah. Di sini, saya bekerja di untuk perusahaan media daring atau online bernama PT. Kompas Cyber Media atau lazim dikenal dengan nama Kompas.com.

Dengan begitu, seringkali tempat saya mendapatkan undangan liputan untuk pergi keluar kota bahkan keluar negeri dari instansi-instansi pariwisata. Seketika tanggung jawab atas tugas-tugas saya langsung saya panggul. Iya, saya bekerja bukan jalan-jalan.

Sudah, hampir dua tahun saya menjadi “Travel Journalist”. Seumur jagung ini, hanya sedikit pengalaman yang baru saya alami. Tapi sedikitnya bisa menjawab tentang anggapan tentang bagaimana pekerjaan “Travel Journalist”.

***

dsc_0068Saya wartawan, bukan wisatawan.

Kalau masih bingung dengan arti wisata, coba tengok arti kata dari Kamus Besar Bahasa Inggris. Wisata berarti bepergian bersama-sama baik untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya. Istilah lainnya yang sama dengan wisata seperti tamaysa atau piknik.

Jika sedang wisata, saya mungkin bisa bersantai sejenak menikmati suasana. Saya bisa melihat-melihat mungkin bahkan tanpa harus sibuk memegang gawai. Bisa dengan santai tak perlu memperbaharui informasi. Saya selalu ingat kata rekan kerja saya, “Kamu itu kerja, bukan jalan-jalan,”.

Realitanya, di tempat liputan yang dalam hal ini di obyek wisata, sejauh ini saya tak bisa bersantai layaknya wisatawan. Jangan bayangkan saya bisa tiduran berjemur di pantai, jalan santai melenggang tanpa perbincangan yang bisa dipertanggungjawabkan, atau bahkan membidik lensa ke sudut-sudut yang sering dianggap orang sebagai “nirwana”.

Ketika panas matahari menghadang, arahan dari editor tetap harus dijalankan. Semua sudut pandang harus diselami. Tak ada rumusnya, saya berpendapat secara lugas dalam tulisan. Saya mesti kroscek ke kiri, kanan, depan, dan belakang demi informasi yang terpercaya.

Lalu kalau sudah begitu, dari sudut pandang mana saya bisa pergi berwisata layaknya wisatawan?

_mg_6622

Tentu saat bekerja, sebagai seorang karyawan yang dibayar, saya mesti mencapai target yang ditetapkan. Target saya sendiri empat tulisan per hari. Iya, betul. Empat tulisan per hari. Belum lagi, di saat yang bersamaan harus membekukan momen. Silahkan dibayangkan bagaimana bisa berwisata dengan hati yang damai dan tenteram.

Belum lagi, jika narasumber untuk menolak untuk diwawancarai. Diacuhkan bak tengah menawarkan barang. Menunggu untuk bisa mewawancarai, atau bahkan berpacu dengan waktu liputan yang sempit. Atau, mengejar narasumber yang sangat sulit dihubungi.

Wartawan bertugas sebagai pemberi informasi dan tentu mencerahkan pembaca. Bayangkan, waktu liputan yang sempit tapi harus menghasilkan tulisan. Saya harus ekstra menempatkan strategi untuk mendapatkan informasi.

Belum lagi, saya pernah ditinggal rombongan karena saya terlalu lama wawancara narasumber. Ada lagi pengalaman diminta untuk memandu wartawan-wartawan mancanegara untuk pergi berwisata. Atau, terasingkan ketika harus memisahkan diri dari rombongan demi satu sudut pandang yang lebih menarik.

Pengalaman-pengalaman lain seperti tentang istilah “amplop” atau “jale” untuk wartawan. Ini yang menarik juga. Saat bekerja ini saya berada di dua sisi mata uang. Sisi pertama untuk menjaga hubungan dan menghargai pihak kedua maupun ketiga selaku pengundang, di sisi lain, saya tak boleh menerima “amplop” atau “jale”. Itu pengalaman di tempat wisata yang nyata saya alami. Ah, menantang bukan?

_mg_4907Yang berkembang saat ini, memang pekerjaan “Travel Journalist” ini bak impian semua orang. Itu dari hasil dari pengalaman saya bertemu dengan beberapa orang. Namun, benar memang jarang yang ingin menyelami lebih dalam terkait pekerjaan ini. Istilahnya, hanya tahu tentang jalan-jalan saja.

Tentu sebagai wartawan perjalanan, energi yang dibutuhkan sangat besar. Saya dituntut punya stamina yang baik. Berwisata saja sudah membutuhkan energi yang besar. Ditambah bekerja, sudah tentu butuh lebih. Medan liputan pun variatif seperti di dinginnya ruangan sampai terik matahari terbuka. Seringkali juga harus berkejaran dengan deadline hingga kurang tidur. Inikah berwisata?

Sedikit itu gambaran-gambaran tentang penugasan liputan di tempat wisata begitu berbeda dengan istilah berwisata. Saya pun sendiri tak selalu pergi keluar kota. Teman-teman di luar sana juga saya yakni lebih hebat dalam melakukan perjalanan.

Saya memang cukup beruntung berlatarbelakang dari sebuah organisasi mahasiswa pencinta alam. Urusan kaki menjejak di licinnya tanah dan batuan sudah pernah saya rasakan. Ketatnya dalam penulisan laporan perjalanan pada masa itu banyak membantu saya dalam beradaptasi dalam urusan petualangan maupun plesiran hingga tuntutan lain.

Peribahasa “Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau” memang benar. Penilaian hanya dari sisi luar. Namun, saya bersyukur bisa bekerja sebagai “Travel Journalist”. Saya bisa bertemu dengan banyak orang dan tentu belajar dari mereka.

Salam.

 

Pesona Lebaran yang Pudar

Bersama teman baru sesaat setelah bertugas di Karimun Jawa pada hari kedua Lebaran tahun 2015

Bersama teman baru sesaat setelah bertugas di Karimun Jawa pada hari kedua Lebaran tahun 2015

Tiga puluh menit dari stasiun ke arah selatan, pada sebuah desa kecil dekat Sungai Bogowonto, saya dibesarkan oleh kakek dan nenek saya. Sentuhan tangan kakek dan nenek serta adik-adik ibu kerap teringat saat saya melihat bingkai-bingkai foto yang terpajang di rumah. Ya, ketika masih berusia enam bulan, saya dititipkan oleh orang tua untuk dibesarkan oleh sepasang manusia yang telah melahirkan ibu saya. Nama desa yang menjadi kampung halaman saya adalah Kutoarjo. Sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang berjarak sekitar satu jam ke barat dari Yogyakarta.

Sebulan sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 H saya telah merencanakan untuk kembali menyambangi tempat saya dibesarkan. Walaupun hanya dua tahun lamanya saya tinggal di Kutoarjo. Saya telah memesan tiket Kereta Api Bogowonto untuk dua orang. Dua tiket tersebut untuk saya serta sang ibu pada dua hari menjelang Lebaran. Dapat dibayangkan, orang-orang dari ibukota Jakarta akan berbondong-bondong kembali ke tanah kelahirannya demi berkumpul dengan keluarga tercinta. Namun saya hanya ingin bertemu dengan kakek dan nenek saya walaupun hanya tinggal nama yang tertulis di nisan.

“Bu, nanti kita pulang bawa apa ya? tanya saya kepada ibu.

“Ya, bawa aja baju nanti buat si Pulung,” jawab ibu saya.

Sekelumit asa untuk bertemu dengan sepupu saya, Pulung sudah terbesit di kepala. Di depan rumah kakek dan nenek saya mengalir sebuah sungai kecil yang nantinya akan bergabung di Sungai Bogowonto dan bermuara di Laut Selatan Pulau Jawa. Laut yang konon banyak memakan korban jika ada wisatawan yang berbaju hijau. Saya sudah membayangkan akan bermain di atas pasir hitam dengan suara deburan ombak laut yang bergulung-gulung. Juga berkejaran bersama sepupu-sepupu yang tercinta. Biasanya pada tahun-tahun sebelumnya, saya bersepeda bersama sepupu menuju ke pantai. Sekitar tiga puluh menit jika bersepeda dari sebuah desa kecil yang juga berada di dekat Pasar Grabag.

Pesona Lebaran di kampung halaman terlanjur memesona saya setiap tahun. Suara takbir kerap terdengar. Khutbah-khutbah dalam bahasa Jawa Kromo Inggil atau halus menjadi pengantar salat Idul Fitri. Orang-orang di Desa Grabag akan keluar pada pagi hari menuju arah timur di bawah rerimbunan pohon. Semua orang akan bersalaman.

“Nyuwun Pangapunten (saya minta maaf),” bayang saya dalam bahasa Jawa saat berjalan menuju masjid.

Keriuhan yakni jabat tangan dan mencium tangan orang-orang tua akan saya lakukan. Sungkem dengan adik-adik ibu saya. Satu orang perempuan dan laki-laki. Ibu saya anak kedua, sedangkan kakak dari ibu saya, laki-laki berada di Medan menjadi polisi. Oh ya, adik bungsu dari ibu saya juga seorang polisi. Biasanya, tradisi sungkem dilakukan di rumah utama di kampung saya. Rumah yang berbentuk joglo dengan lima kamar di dalamnya. Rumah itu juga yang menjadi saksi ikatan janji suci bapak dan ibu saya. Betul, pernikahan yang dulu sekitar hampir 30 tahun yang lalu. Duduk berjajar di ruang tamu rumah joglo tempat kakek dan nenek saya terkasih.

Pulau Karimun Jawa dengan laut biru.

Pulau Karimun Jawa dengan laut biru.

Setelah, sungkem dengan para saudara, biasanya saya dan para saudara akan berangkat menuju pusat kabupaten. Kami akan menyantap kuliner baso dan dengan es dawet khas Kutoarjo. Gurih kuah bakso kampung halaman sangat terasa berbeda dengan bakso yang dijual di kota megapolitan Jakarta. Berbeda karena disajikan di kampung halaman. Sementara telah terbayang, dinginnya es dawet dan manisnya gula jawa yang banyak dihasilkan di Kabupaten Purworejo. Harga semangkuk bakso biasanya kami pesan seharga Rp8.000 dan es dawet seharga Rp3.000. Harga yang murah bagi warga pada provinsi DKI Jakarta.

Lima menjelang keberangkatan, pesona Lebaran yang telah saya bayangkan pudar. Saya mendapatkan penugasan ke luar kota dan terpaksa menghapuskan pesona Lebaran yang telah terbayang. Tujuan perjalanan saya adalah Taman Nasional Karimun Jawa. Saya bertugas untuk meliput paket perjalanan dari PT Pelni yang bertajuk “Let’s Go Karimun Jawa”. Sempat rasa kecewa terpapar di depan mata saya. Sementara, teman-teman yang lain dalam Photo Kontes Instagram #PesonaLebaran telah mulai mengunggah foto-foto momen-momen Lebaran pada saat saya berada di atas kapal laut pada hari kedua Lebaran. Saya rindu kampung halaman. Foto-foto Instagram yang diunggah tersebut membuat saya kian merindu. Saya justru merayakan Pesona Lebaran dengan teman-teman yang menjadi keluarga baru saya.

Jika kamu punya foto-foto saat momen-momen merayakan Pesona Lebaran,sobat traveler dapat mengikuti kontes foto Instagram dari Indonesia.travel. Yuk, mencoba Kontes Foto Instragram dengan menuliskan atau mencantumkan hashtag #PesonaLebaran.

 

 

 

 

 

Perjalanan Terus Bergulir

Tambora, Kompas.com, Traveling, Traveling, Taman Nasional Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, Sumbawa, Adventure, Mountaineering

Ketika berada di Puncak Tambora bulan Maret lalu. Foto ini diambil ketika penugasan liputan Kompas.com.

Sudah hampir enam bulan lamanya tidak menulis di rumah yang telah membesarkan saya. Terakhir kali masih terbesit cerita kerasnya kala berjuang melewati Jalur Pantura. Hingga tiba di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, Si Sepeda Hitam pun tumbang. Sebelumnya, beberapa perjalanan kecil masih menghibur di tengah kesibukan menjadi pekerja lepas.

Agustus tahun lalu, saya meninggalkan kampus kuning dan berhasil mendapatkan gelar sarjana. Segala petualangan di dunia pendidikan tinggi sirna. Bak badai, ia sekejap hilang berganti dengan mentari pagi yang cerah. Puncak telah diraih. Perjalanan mendaki dari kaki gunung yang berat berhasil dilalui.

Juga masih teringat ketika mencoba mengadu nasib di salah satu media siber nasional Indonesia. Waktu itu, akhir bulan Oktober kira-kira. Saya memberanikan diri untuk mengirimkan surat elektronik pertanda berniat untuk bekerja di sana. Nasib baik menghampiri. Saya mendapatkan panggilan untuk berbincang-bincang dengan perwakilan perusahaan.

Hampir dua bulan saya dibuat menunggu. Seperti awan yang merindukan hujan. Begitu juga sang tanah. Dan akhirnya, setelah saya meninggalkan perjalanan 1.000 kilometer menuju Surabaya, saya berhasil datang kembali ke Palmerah. Hitam dan tertawa. Itulah kesan yang timbul ketika saya bertemu kembali dengan sang pewawancara. Saya hanya dapat tertawa. Itulah hasil saya bersepeda. Ya, ceritanya pun belum selesai.

                                                               *******

Singkat cerita, saya diterima untuk dapat bekerja. Benar-benar sebuah petualangan. Ini salah satu jasa dari sebuah tempat gratis untuk berbagi. Berawal dari blog ini dibuat, satu persatu sejarah perjalanan ditorehkan. Perlahan pembaca mulai ramai. Terjadi interaksi yang mengasyikkan dengan para pembaca. Ya, tentunya kalian yang setia membaca. Terima kasih.

Sebenarnya, tulisan-tulisan saya dapat tetap kalian baca. Hanya di alamat yang berbeda. Namun, bukan berarti saya tak akan kembali ke sini. Ini sedikit bukti. Ah, rasanya ingin kembali berbagi cerita perjalanan yang seru dengan kalian. Mungkin, kali ini bukan cerita petualangan ataupun sedikit tips yang dapat saya bagi. Ini adalah kerinduan untuk kembali menjelajah di blog ini.

Ah rasanya seperti berada di lorong waktu. Berpindah-pindah menuju obyek-obyek wisata di Indonesia karena tuntutan pekerjaan yang saya jalani. Misalnya, ketika perjalanan tugas ke Gunung Tambora, Gunung Parang, Sulawesi Selatan, Kalimantan, hingga Padang. Begitu banyak cerita yang dapat saya tuliskan. Namun membagi waktu adalah tantangan terbesar saya. Itulah realita yang terjadi saat ini.

Saat ini mulai dari tulisan ini saya akan mencoba kembali berbagi dengan teman-teman blogger lain. Semoga dapat kembali konsisten dalam dunia menulis yang saya jalani sekarang. Anggap ini adalah momen reinkarnasi blog perjalanan ini. Selamat kembali menjelajah di setangkup kisah perjalanan yang akan kembali ditorehkan!

Bersepeda Depok –Surabaya: Etape 5 Kembali Ke Kampung Halaman

Si Sepeda Hitam telah siap menyusuri Jalur Selatan Pulau Jawa. Kampung halaman menunggu. Melepas kangen dengan sanak saudara.

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Jalur perkiraan Etape 5 berdasarkan Google Maps. Purwokerto – Kutoarjo. Sumber: Google Maps.

Setelah dua hari berada di Purwokerto, Selasa (6/1/2015) pagi, Si Sepeda Hitam harus beranjak tempat persinggahan. Sudah harus keluar dari kota yang terkenal dengan tempe mendoannya ini. Awal dari perjalanan menuju kampung halaman yaitu Grabag, Kutoarjo disambut dengan pagi yang cerah. Gunung Slamet terlihat gagah. Gunung yang sempat erupsi tahun lalu ini, melepas kepergian saya. Juga teman-teman dari UPL MPA Unsoed yang baik hati ikut juga.

Udara di hari kerja ini cukup sejuk. Pengendaranya juga taat lalu lintas. Jangan harap suasana ini ada di Kota Jakarta. Sudah pasti para raja jalanan ibukota akan berebut untuk mengisi jalan yang kosong. Bahkan garis batas berhenti pasti akan dilampaui. Tak segan-segan juga lampu merah akan diterobos. Petugas polisi tak berdaya melihatnya. Namun terkadang pengendara yang sial akan terkena tilang. Begitulah sekilas perbedaan antara di Jakarta dan di luar Jakarta.

Dari Sekretariat UPL MPA Unsoed, saya bergerak ke selatan. Patokan untuk berbelok adalah lampu lalu lintas keempat. Kemudian berbelok kembali ke arah Rumah Sakit Margono. Kecamatan Mersi terlewati. Sepanjang jalan, Gethuk Sokaraja menjadi primadona kuliner yang ditawarkan di Kabupaten Banyumas. Masing-masing penjual gethuk menjadi merek yang dijual. Namun saya tak sempat mencoba salah satu oleh-oleh andalan Banyumas ini.

Di sebuah percabangan jalan menuju Kecamatan Buntu, saya berbelok ke kiri. Sebenarnya ada pilihan untuk lurus tapi medan yang dilewati akan sangat menanjak. Menurut informasi tambahan dari seorang tukang becak, jalur itu melewati sebuah pabrik gula dan perbukitan. Nantinya jalan itu akan tembus di Jalur Cilacap – Jogja. Sebenarnya jalur yang berbelok kiri juga akan berbelok tapi tidak separah jika mengambil jalan potong lurus. Tanjakan Buntu telah terkenal yang cukup sulit.

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Tanjakan pertama Buntu. Sebelum melanjutkan tanjakan berikutnya, saya berhenti untuk beristirahat.

Awal tanjakan cukup menantang. Kemiringan jalan sekitar 20 derajat. Gigi sepeda diturunkan. Gigi depan diturunkan menjadi 34 mata sedangkan gigi belakang, diturunkan menjadi 26 mata. Dengan rasio perbandingan tersebut tanjakan pertama dapat terlewati. Namun sambutan ini membuat saya harus beristirahat setelah satu jam mengayuh sejak dimulai dari pukul 08.30 WIB. Saya berhenti di pinggir jalan.

Seteguk air dari botol, saya minum. Sambil istirahat, saya bakar sebatang rokok. Namun karena saya tak memiliki korek api, saya meminjam dari seorang kakek yang sedang memotong bambu dengan goloknya di depan rumah tempat saya berhenti. “Permisi pak, pinjam korek ada?” sapa saya kepada kakek yang berumur kira-kira 69 tahun ini. “Ada dek. Di atas bangku.” jawabnya sambil menuju arah bangku. Dia berhenti memotong bambu dan segera melinting tembakau menggunakan kertas rokok. Kemudian terjadi sebuah perbincangan seperti biasanya kalau saya bertemu dengan orang.

“Mau kemana dik?” tanya dia sambil memilin tembakau

“ke Surabaya pak” jawab saya sambil memantik rokok.

“Dari mana? Sendirian?” tanya kembali sang kakek.

“Iya pak. Dari Depok” jawab saya kembali sambil menghisap rokok.

“Minum dek. Udah sarapan belum? tanya seorang ibu yang keluar dari rumah sambil membawa sebotol air putih.

“terima kasih bu. Sudah kok di Purwokerto” jawab saya sambil tersenyum.

Perbincangan tersebut terus berlangsung sampai rokok saya habis. Obrolan ini pasti berulang ketika saya berhenti dan bertemu orang di jalan. Keramahan orang-orang yang saya temui di jalan menjadi obat bagi perjalanan ini. Rasanya setiap orang yang saya temui ini bagaikan keluarga. Kemudian saya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Kata “hati-hati” selalu menjadi doa di akhir perbincangan.

Tanjakan kedua semakin terjal. Kemiringan bertambah 10 derajat. Peluh mulai bercucuran. Matahari semakin menunjukkan tajinya. Kendaraan yang melewati jalur ini juga menurunkan gigi hingga posisi terendah. Bus-bus sekarang didominasi dengan tujuan Purwokerto – Kebumen. Ukuran busnya sama seperti yang saya gunakan ketika menuju Purwokerto dari Tegal. Asap hitam dari knalpot memenuhi jalan. Sangat mengganggu. Untungnya saya menggunakan penutup wajah. Sedikit berkurang siksaanya.

Tidak semua tanjakan di Buntu ini saya lewati di atas sadel sepeda. Terkadang saya harus turun untuk menuntun sepeda. Tanjakan-tanjakan ini cukup berat. Walaupun tak separah tanjakan di Jalan Raya Puncak, Jawa Barat, ini adalah tantangan tersendiri bagi saya. Demi efisiensi tenaga, saya harus mengalah dari tanjakan ini. Betis terkadang hampir kram dibuatnya. Panas matahari luar biasa bersinar. Polusi udara. Lengkap sudah. Kombinasi lengkap ujian ini.

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Akhir Tanjakan Buntu di Hutan Karet Krumput. Di pinggir jalan ini banyak orang-orang yang menunggu pengendara melempar koin.

Di pinggir tanjakan Jalan Buntu, wangi durian tercium. Di kiri-kanan jalan banyak yang menjajakan durian. Terang saja, di kiri dan kanan, setiap pekarangan rumah pun tumbuh pohon durian. Namun lagi-lagi tak ada kesempatan untuk mencicipi durian Buntu. Di otak hanya teringat untuk segera mencapai akhir dari tanjakan nestapa ini. Tanda akhir tanjakan ini adalah pohon jati yang ada di kiri dan kanan jalan. Dari tempat saya berhenti dan berbincang-bincang dengan seorang kakek berjarak sekitar 4 km.

Setelah hampir satu jam lebih berjuang dengan tanjakan Buntu, akhirnya saya tiba di Hutan Karet Krumput. Sejenak saya berfoto. Setelah ini jalan akan cenderung turun. Bahkan sangat tajam.Kecepatan sepeda akan mencapai 40 km/jam jika tidak dikurangi kecepatan. Turunan pertama didominasi oleh orang-orang tua yang duduk di pinggir jalan. Beberapa sudah lanjut usia. Menurut cerita yang beredar, rute Hutan Karet Krumput ini minim penerangan jika malam hari. Selain itu karena jalan yang menanjak dan berkelok-kelok, biasanya pengendara akan menyalip. Hal tersebut yang rawan menyebabkan kecelakaan. Maka ada satu kepercayaan bagi para pengendara untuk membuang koin tanda upeti bagi “sang penunggu jalan“.  Orang-orang tua tersebut memanfaatkan untuk menunggu koin tersebut. 

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Persimpangan jalan menuju Goa Maria via Jalur Kaliori.

Kaki sejenak berhenti beraktifitas. Kini tangan yang harus sigap memainkan rem. Jalan berkelok-kelok turun tajam.  Di setiap sudut jalan selalu terdapat peringatan “Awas Turunan Tajam”, “Sering Tejadi Kecelakaan”, dan “Kurangi Kecepatan Sekarang”. Kewaspadaan ditingkatkan. Lengah sedikit, saya akan terpental. Walaupun tidak mengayuh, tetap saja turunan ini membuat saya sedikit was-was. Lima menit kaki beristirahat, jalanan kembali datar. Urusan kayuh-mengayuh dilanjutkan.

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Gapura selamat datang Kebumen. Si Sepeda Hitam memasuki Kebumen sekitar pukul 14.00 WIB.

Pertigaan besar di depan mata. Ke kiri ke arah Kebumen, sementara ke kanan ke arah Cilacap. Gethuk-gethuk masih banyak dijajakan. Sebentar lagi akan berganti Kabupaten Kebumen. Saya meninggalkan Kabupaten Banyumas pada pukul 11.15 WIB. Istirahat siang sebentar lagi. Setelah mencicipi aspal Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Kebumen yang tak begitu mulus, tepat pukul 12.00 WIB saya berhenti di depan Masjid Baiturrahman, di Kecamatan Tambak. Waktu makan siang tiba. Saya santap kuliner khas Kecamatan Tambak yaitu Sate Bebek. Cukup Rp. 23.000 untuk seporsi nasi, 10 tusuk sate bebek, sop bebek, dan es jeruk.

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Seporsi nasi bebek yang dijual di depan Masjid Baiturrahman, Kecamatan Tambak, Banyumas. Jika melewati Kecamatan Tambak, jangan lupa menyantap kuliner ini.

Istirahat siang ini seperti biasa. Sholat, makan, dan meluruskan kaki sejenak. Istirahat kali ini lebih lama dari biasanya. Satu setengah jam. Saya kembali melanjutkan perjalanan. Bosan dengan perjalanan yang didominasi bus-bus, saya kali ini akan mengambil rute alternatif menuju Grabag, Kutoarjo. Rute yang saya tempuh adalah melewati pantai selatan. Pantai Suwuk akan menjadi pemberhentian sementara. Jarak dari Jalan Raya Gombong – Purworejo menuju Pantai Suwuk sekitar 21 km.

Saya berbelok meninggalkan jalan utama. Asap-asap dari knalpot bus-bus berganti menjadi udara segar khas pedesaan. Kiri dan kanan hanya sawah. Di depan bukit menjulang tinggi. Bukit-bukit tersebut merupakan kawasan karst Pacitan yang memanjang dari Kebumen sampai Pacitan. Di sana banyak gua-gua yang biasa dijelajahi oleh kelompok pencinta alam maupun wisatawan minat khusus. Hampir satu jam lebih saya mengayuh, saya pun tiba di Pantai Suwuk.

Di Pantai Suwuk ini jika ingin mampir cukup membayar tiket seharga Rp. 3.500. Jika membawa sepeda motor harus merogoh kocek lagi sebesar Rp 3.000. Di pantai ini, pemandangan yang ditawarkan adalah Laut Selatan Pulau Jawa, perbukitan yang menghampar di sebelah barat, Pantai Karang Bolong, dan kuliner di pinggir pantai. Kuliner di sini tergolong murah. Misalnya untuk Segelas es jeruk hanya cukup membayar Rp. 3.000 , sementara untuk mie instan menggunakan telur, cukup mengeluarkan uang Rp. 5.000.

Matahari semakin bergerak menuju timur. Saya harus kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju Desa Grabag, Kutoarjo masih sekitar 70 km. Dengan perkiraan kecepatan rata-rata saya bersepeda 16 km/jam, saya akan tiba malam hari sekitar pukul 20.00 WIB. Saya terpaksa memilih target tempat dibandingkan target waktu. Pada perencanaan, ketika waktu memasuki magrib, saya harus menghentikan perjalanan. Saya memang menghindari perjalanan malam hari. Namun kali ini pengecualian saya buat. Saya harus tiba di kampung halaman saya hari ini.

Yang saya sedikit heran ketika melewati pantai selatan di Kabupaten Kebumen ini adalah waktu sholat Ashar yang berbeda. Adzan Ashar berkumandang pukul 16.30 WIB. Entah kenapa. Sejak saya meninggalkan Pantai Suwuk pukul 15.30 WIB, saya belum mendengar adzan berkumandang. Pada akhirnya saya berhenti di sebuah mushala yang ada di pinggir sawah yang menjadi dominasi selain kebun jagung.

Di sore hari, masyarakat Kabupaten Kebumen yang ada di jalur Jogja – Cilacap ini, banyak yang keluar untuk memancing ikan di aliran sungai kecil. Tua, muda, dan anak-anak memiliki pancingannya masing-masing. Mulai dari pancingan dati sebuah ranting pohon hingga pancingan yang memiliki alat pemutar jika umpannya tersambar. Di sudut pinggir sawah lainnya, ada juga yang berkutat dengan burung dara. Semua tampak menikmati sore hari. Kesenangan itu terlihat sangat sederhana.

Semburat jingga matahari mulai mewarnai langit. Keindahannya hanya sesaat. Kini keindahan itu sirna berganti ketakutan. Ya, ketakutan untuk melintas malam hari. Rasa takut ini harus saya lawan. Sudah hampir 50 km saya tempuh dari Pantai Suwuk. Kini, setelah istirahat dan sholat maghrib di sebelum kecamatan Buluspesantren, saya menempuh perjalanan malam. Pengalaman pertama menjelajah daerah sepi yang belum saya ketahui medannya. Alat penerangan yaitu headlamp menjadi satu-satunya andalan saya.

Masih tiga kecamatan lagi untuk meninggalkan Kabupaten Kebumen dan memasuki Kabupaten Purworejo. Kecamatan itu adalah Buluspesantren, Ambal, dan Mirit. Perjalanan sangat sulit. Jalan yang bergelombang dan rusak menjadi hambatan. Tak jarang, ban sepeda menghantam lubang. Saya takut kejadian di Losari terulang. Apalagi daerah yang saya lewati tergolong sepi. Warga hanya banyak tinggal di sekitar pusat kecamatan. Namun saya tetap menatap ke depan. Perjalanan ini harus dihadapi.

Di sebuah warung saya berhenti. Setelah menghadapi jalan rusak dan gelapnya malam, sejenak saya beristirahat. Saya memastikan kembali jarak yang saya tempuh. “Mas, ke Ketawang masih jauh?” tanya saya ke penjual warung. “Udah deket kok dek. Nanti lewat jalan potong aja yang tembus ke Terminal Ketawang. 100 meter dari sini belok kiri, ketemu pertigaan belok kanan lalu lurus terus sampai terminal” jawabnya. Penjelasan tersebut langsung saya telan. Saya tahu jalan itu. Pria itu juga menambahkan bahwa jalan yang dilewati mulus. Sekitar 9 km lagi sampai ke Desa Grabag.

Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Roda kembali bergulir. Dinginnya malam menerjang. Namun tak menusuk tulang seperti yang dirasakan ketika naik gunung. Hanya udara malam pedesaan yang berhembus menembus kaus yang saya gunakan. Jalan kadang berkelok. Di kiri terhampar sawah. Sang dewi malam malu-malu mengintip. Samar-samar di balik awan. Kecantikannya tak dapat terlihat secara utuh. Baru pertama kali sang dewi malam dapat saya lihat dari atas sepeda. Sebentar lagi kecantikannya akan terhalang atap rumah almarhum kakek dan nenek saya.

BikeVenture, UPL MPA Unsoed, Adventure, 50 Tahun Mapala UI, Mapala UI, Roadtrip, SoloTrip, Traveling, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Kutoarjo, Bikepacker, Jawa Barat, Visit Jawa Barat, Indonesia, 1000 KM

Beristirahat di rumah nenek, Desa Grabag, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo.

Benar saja, 30 menit kemudian saya tiba di Terminal Ketawang. Sekarang tinggal lurus ke utara untuk sampai ke rumah di mana ibu saya dilahirkan. Patokannya adalah Pasar Grabag yang timur jalan. Dari sana hanya berjarak 400 meter. Kemudi sepeda saya belokkan ke kiri di Jalan Malangrejo IV. Melewati sungai kecil buatan tempat biasa saya main dulu kalau pulang ke kampung halaman. Namun sejak beranjak besar, tak lagi saya main di sana. Baru dua bulan yang lalu saya menginjakkan kaki di Desa Grabag. Saat ini saya kembali ke tempat saya dibesarkan oleh almarhum kakek dan nenek saya sejak umur 1 tahun hingga 2.5 tahun. Berada di sini seperti memutar kenangan itu. Perjalanan menuju Yogyakarta akan dilanjutkan pada hari Kamis, 8 Januari 2015. Selamat malam.